Sabtu, 15 April 2017


Maksimalisasi Peran Generasi Muda menuju Indonesia Mandiri 2025
Oleh: Muhammad Akbar Rahmadi

Pendahuluan
Kemandirian adalah nilai inti suatu bangsa. Ia juga hadir sebagai salah satu solusi agar suatu bangsa  dikenal di dunia. Di kalangan masyarakat Indonesia, nilai-nilai kemandirian sudah diajarkan sejak para founding fathers sejak negara ini berdiri. Seiring berkembangnya zaman yang dipandu langsung oleh nilai-nilai globalisasi, berupa proses integrasi internasional skala luas, mampu menyentuh ranah politik, sosial, dan ekonomi, dan kehadirannya sebagai tantangan terbaru bagi masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, paham globalisasi dan kemodernan inilah yang perlahan demi perlahan akan merusak moral dan karakter suatu bangsa, terutama generasi mudanya, yang di mana kemajuan suatu bangsa akan ditentukan oleh gerak-gerik generasi mudanya. Di makalah ini akan dipaparkan secara ringkas dan konkrit mengenai maksimalisasi peran dari generasi muda Indonesia, menuju Indonesia mandiri 2025. Selain itu, solusi yang konstruktif dan argumentasi yang kontributif dapat disampaikan, baik tersurat maupun tersirat, bagi para pembaca makalah ini. Hasil dari makalah ini, akan mewujudkan saran yang membangun serta menghadirkan solusi yang nyata bagi Indonesia, khususnya bagi generasi muda.  

Indonesia adalah bangsa dan negara yang besar. Kebesaran yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ini merupakan pemberian Allah SWT, yang harus kita jaga dan kelola bersama demi ksejahteraan masyarakat yang berada di dalamnya. Masa kelam bangsa Indonesia dengan pengalaman dijajah selama ratusan tahun oleh Belanda dan Jepang, adalah hal yang traumatis dan dilematis, yang di mana keadilan dan kesejahteraan diinjak-injak oleh mereka sang penjajah yang tidak bertanggung jawab. Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya pun, harus tetap maju dan berkembang, melewati tantangan arus globalisasi dan modernisasi. Pengelolaan negara pada hakikatnya tidak dapat dilakukan oleh pihak pemerintah saja, melainkan harus adanya sinergitas dan kinerja yang lebih konkrit, bukan hanya janji yang diobral diawal kampanye saja, akan tetapi harus ada kinerja yang efektif dalam rangka mewujudkan Indonesia yang adil, jujur dan bermartabat dari seluruh bangsa yang ada di dunia, berkesinambungan antara pihak atas dan bawah, form the top to the bottom. Sinergitas antara masyarakat dan pemerintah pemimin harus terus diwujudkan karena dua hal ini sebagai salah satu akar kuat di negara kita  sebagai negara penganut system demokrasi.

Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia, mandiri berarti keadaan yang dapat berdiri sendiri. Ia juga bermakna sebagai sikap yang tidak bergantung pada orang lain. Kemandirian berasal dari kata independence, yang diartikan sebagai kondisi yang di mana seseorang tidak bergantung pada orang lain, dalam menentukan keputusan dan disertai dengan adanya percaya diri. Percaya diri  atau Self-reliance, juga berarti kemampuan untuk mengelola semua yang dimiliki dengan mengetahui pengelolaan waktu yang benar, berjalan dan berpikir secara mandiri, baik dalam mengambil resiko dan pemecahan masalah. Kemampuan personal yang didukung oleh landasan semangat dan nilai juang yang tinggi akan memberikan nilai kontribusi yang tinggi pula pada keseharian seorang individu, karena bersandar pada nilai-nilai yang perjuangan yang tinggi disertai dengan kesabaran dalam proses dinamika kesehariannya.

Dalam kehidupan pemuda, tentunya ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan  dilestarikan agar ia mampu bersaing. Melatih nilai juang diri agar mampu bermanfaat bagi orang banyak adalah salah satunya, karena dengan nilai juang yang tinggi akan menghasilkan manfaat yang produktif dan positif. Karakteristik seorang pemuda yang tangguh dan gigih dalam berjuang melawan segala tindakan yang kontras dalam kehidupannya, akan memberikan pengaruh yang positif bagi kehidupan bangsa.  Jika anak muda yang sudah mampu mengelola dirinya, mandiri secara finansial, lepas dari orang tua dan sudah bisa bermanfaat bagi orang banyak, maka kehadirannya di masyarakat adalah sebagai solusi permasalahan bangsa yang sangat dinantikan. Dalam dunia akademisi misalnya, kehadiran mahasiswa di tengah gejolak degradasi pendidikan dan pengajaran, maka wujudnya hadir sebagai jalan keluar untuk memberikan kontribusi yang nyata bagi masyarakat sekitarnya. Mahasiswa yang dianggap sebagai agent of change pada tentunya harus mempunyai keaktifan.

Berbicara mengenai kemandirian, tentunya bisa kita lihat dari proses yang telah dialami bangsa Indonesia setelah kemerdekaan. Komitmen untuk menjaga perdamaian dan anti penjajahan sangat kita junjung tinggi, sebagai bangsa yang besar. Wakil Presiden Republik Indonesia, Bapak Jusuf Kalla pernah memberikan pidato singkat kenegaraan dihadapan seluruh jajaran menteri dan pejabat istana peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke 64. Pidato yang dibawakan oleh Jusuf Kalla atau JK­, sapaan akrabnya, pada intinya memberikan sebuah pesan dan nasehat singkat mengenai refleksi kemerdakaan yang selama ini telah diraih oleh bangsa Indonesia. Urgensinya, adalah mengenai kemandirian bangsa Indonesia sejatinya yang harus menjadi tolak ukur bagaimana agar pemerintah dan masyarakat bersama-sama mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, serta keadilan sosial, serta terus berusaha secara kolektif dalam menegakkan kemandirian bangsa.

Kemandirian itu ialah bagaimana agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, tidak bergantung pada kehidupan bangsa yang lain, serta mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang ada di dunia. Kemandirian bangsa secara bebas dapat diartikan sebagai suatu kondisi di mana seluruh aspek kehidupan bangsa telah mampu dikelola sendiri oleh pemerintah bersama-sama dengan seluruh komponen bangsa, tanpa adanya ketergantungan oleh pihak asing dan negara lain. Di lain sisi, kemandirian juga sebagai salah satu pemberian akses yang mudah bagi rakyat Indonesia tanpa adanya ketergantungan dengan negara lain. Salah satu bentuk dari keseimbangan yang nyata  adalah kebutuhan akan kondisi hidup yang di mana setiap orang kebebasannya dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia, tentunya tetap berada di dalam koridor nilai-nilai ke-Indonesiaan.

Indikator lain dalam kemandirian, yaitu harus adanya konsolidasi yang sinergis antar lembaga pemerintahan, baik yang di pusat dan di daerah, yang seharusnya memberikan keadilan dan kesejahteraan yang nyata bagi rakyatnya. Keadilan dan kesejahteraan haruslah dirasakan oleh seluruh aspek bangsa, termasuk kondisi keluarga masyarakat Indonesia. Kondisi yang di mana keluarga mampu memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarganya, akses kesehatan yang mudah, tidak adanya hal-hal yang diskriminatif dalam pendidikan, serta akses yang mudah dalam memperoleh keadilan, dan bahkan hingga pelayanan sosial jika memang diperlukan. Kondisi yang di mana setiap individu mampu menolong dirinya sendiri, serta dapat menjalankan ibadah menurut kepercayaan masing-masing. Kondisi yang di -mana bangsa Indonesia mempunyai nilai tawar-menawar yang setara dengan bangsa-bangsa lain, memiliki kemampuan yang sama untuk menyimpulkan pendapat, gagasan, dan kesempatan menjaga perdamaian dan kesejahteraan yang abadi di muka bumi. Sebenarnya, masih sangat banyak indikator apa saja yang dapat kita jadikan sebagai kemandirian bangsa Indonesia, tergantung seberapa besar usaha yang terus kita lakukan, demi menunjukkan eksistensi bangsa dan negara di kancah internasional.

Pemuda dan Indonesia

Sebenarnya, jika menitik kembali sejarah yang pernah mengaami proses yang begitu panjang di negeri ini, peran pemuda sebagai tonggak keberhasilan bangsaa adalah contoh yang patut kita ikuti. Sejarah membuktikan, bahwa dengan adanya pemuda sebagai salah satu glongan yang menculik ara pembesar tanah air di rengasdenglok di awal-awala pengumuuan menjelang kemerdekaan, tinggi memberikan suatu poros dan hasil usaha yang sistematis dan menjadi salah satu pemahaman mengelola disertai dengan diri sendiri, yang hadir sebagai Indonesia tentunya makna tersendiri. Kemandirian bangsa adalah tolak ukur bagaimana kemudian agar suatu bangsa mampu terkenal di kancah lokal, nasional dan internasional. Dari kemandirian suatu  bangsa untuk maju dan mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, maka kemampuan untuk mendominasi dunia ini akan lebih mudah dan sistematis, karena sumber daya alam yang dimilikinya sangatlah tidak terbatas.

Secara istilah, kemandirian adalah proses untuk selalu berusaha dan memaksimalkan kemampuan diri agar tidak terus bergantung pada orang lain. Kemandirian yang dilakukan oleh seorang manusia tentunya tidak mengedepankan ego semata, melainkan urusan kemaslahatan banyak dan mampu bermanfaat bagi orang banyak. Kemandirian bagi bangsa Indonesia adalah hal yang patut diperjuangkan, dulu dan kini, karena jika tanpa adanya kemandirian, maka ancaman degradasi moral dan karakter, serta proses pengklaiman asing dengan dalih mengikuti perkembangan zaman akan berada pada poros yang tidak diinginkan.

            Wujud dari kemandirian yang ada di bangsa ini sesungguhnya telah diperlihatkan sejak para founding father kita bersatu untuk mengusir penjajah. Menurut salah satu buku yang pernah penulis baca, yaitu Api Sejarah karya Bung Karno, bahwa Indonesia merupakan negara yang maju dalam berbagai hal, tentunya dengan berbagai kekurangan dan kelebihan, bangsa ini tetap eksis di mana saja ia menjadi kehendaknya.

Semoga Bangsa ini selalu Berjaya, Kini dan Nanti.



Feminism Series

Gerakan Internasional Untuk Hak Pilih Wanita
By: Muh. Akbar Rahmadi

Latar Belakang

Tulisan ini adalah hasil dari rangkuman singkat megenai peran dari Gerakan Transnasional untuk hak pilih wanita. Dalam buku yang dituliskan oleh Margaret E. Keck, Kathryn Sikkink, “Activists Beyond Borders, Advocacy Networks in International Politics”, cetakan Cornell University Press (1998), Buku ini tentunya membahas mengenai TAN, atau Jaringan Advokasi Transnasional dalam studi ilmu hubungan internasional. Berbicara mengenai TAN, ada banyak sekali model yang menjadikan TAN itu sebagai salah satu upaya untuk melancarkan dan memberikan pengaruh khusus kepda suatu negara, organisasi atau gerakan, serta berbagai macam bentuk dari aktor dalam studi hubungan internasional, yang mempunyai landasan dan nilai-nilai yang sama. Adanya landasan nilai-nilai yang sama inilah yang kemudian menjadikan suatu gerakan transnasional sangat dibutuhkan bagi perkembangan studi ilmu hubugan internasional. Dari perkembangan yang begitu maju, termasuk di dalamnya studi transnasionalisme, maka inilah kemudian menjadikan studi ilmu hubungan internasional menjadi sangat dinamis dan mengalami perkembangan yang sangat signfikan. 

Dalem tulisan ini, akan dijelaskan sedikit mengenai sejarah yang ada di pada dimensi internasional dari gerakan untuk hak pilih wanita. Berbicara mengenai wanita, apalagi yang berhubungan dengan hak pilih yang ada pada diri wanita, maka secara tidak lansgung juga akan membahas mengenai hak untuk partisipasi politik, juga yang berkaitan dengan isu-isu gender. Bagaimana pun itu, dinamika dunia internasional yang saat ini didominasi oleh setengahnya adalah wanita menekankan saling pengaruh dan interdependensi, serta kerjasama internasional di antara wanita hak pilih gerakan di seluruh dunia. Dalam kajian studi hubungan internasional, apalagi masuk di abad 20, wanita hadir sebagai salah satu aktor dalam perkembangannya, yang dimana isu feminisme itu hadir sebagai gerakan internasional. Inilah yang menjadikan Nancy Cott mengeluarkan pendapatnya yang intinya, “siapa pun menyelidiki feminisme pada pergantian abad kedua puluh, ia tidak dapat gagal untuk mengenali bahwa, ia melihat sebuah gerakan internasional", akan tetapi lebih melihat hal-hal baru, yaitu ide-ide dan taktik bermigrasi dari satu tempat ke tempat sebagai individu, di berbagai negara dalam satu perjalanan, demi mencari model-model yang membantu, serta mengatur meningkatkan jaringan demi bereformasi”.

Jika berbicara mengenai Gerakan internasional untuk hak pilih wanita, maka hal tersebut dimulai pada keterlibatan perempuan dalam organisasi anti perbudakan yang ada di Inggris dan Amerika Serikat. Beberapa sekelompok peremuan yang mempunyai kasus yang sama dalam perbudakan, masuk dan melibatkan dalam organisasi tersebut, serta mengadakan pertemuan dalam World Anti-Slavery Conference pada tahun 1840. Pada saat itu, mayoritas parlemen dan kelompok kepentingan yang ada di Inggris menolak untuk kursi perempuan. Inilah yang kemudian memancing beberapa tindakan dari seluruh kaum perempuan yang ada di Inggris untuk mengecam bersama tindakan parelemen yang tidak fair tersebut. Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton, adalah salah satu dari orgaisasi tersebut, dan maju untuk menyuarakan suara-suara hak perempuan, dalam pertemuan yang bersejarah yang diadakan di Seneca Falls, New York. Mereka maju dalam gerakan terorganisir tersebut, demi menyuarakan hak-hak perempuan, khususnya dalam hak pilih bagi wanita. Ternyata, tidak hanya itu, adanya kasus perpecahan di awal-awal gerakan hak pilih di Amerika Serikat, muncul dari adanya ketidakadilan dari kalangan hak pilih bagi kaum pria, yang didukung surat suara dari budak laki-laki yang dibebaskan, dan tidak untuk wanita. Maka dari itu, kontribusi dan masukan dari kaum perempuan barulahmuncul, yang diawali dengan adanya gerakan hak-hak sipil dan "kebebasan musim panas" di tahun 1960-an hingga 1970-an. Inilah yang pada akhirnya melahirkan pola tindakan baru dalam sejarah gerakan feminisme. Feminisme kemudian berkembang dengan segala usaha dari kaum perempuan untuk memeproleh hak-hak, khususnya dalam hak pilih dalam situasi politik yang ada.

Gerakan Hak Pilih Wanita
Dinamika dari gerakan feminism dan hak pilih wanita, bisa dilihat dari usaha-usaha yang dilakukan oleh kelompok minoritas yang ada saat itu, seperti apa yang dituliskan dalam buku Activist Beyond Border. Dalam buku tersebut dijelaskan, bagamana seorang Elizabeth Cady Stanton, sebagai aktivis feminisme saat itu, menyarankan resolusi hak pilih pada pertemuan yang dilaksanakan pada Seneca Falls. Apa yang dilakukan oleh Cady Santon memang terkesan kurang meyakinkan, dan bahkan terlihat tidak menarik. Adanya polling yang dilakukan saat itu, terutamanya yang diinisiasi oleh Cady sangatlah tidak cocok untuk digaungkan, karena terkesan lebih pas dilakukan oleh kaum pria. Jika melihat dari isu yang lain, seperti isu persamaan di depan hukum dalam hal properti, kasus perceraian, dan kepengasuhan anak-anak, lebih pantas diisukan. Membayar upah yang setara dengan kau pria bagi pekerja perempuan, akses yang sama terhadap pekerjaan dan pendidikan, dan penerapan kode moral yang sama dengan perilaku pria dan wanita, jauh lebih sedikit berkualitatif daripada isu perempuan harus memilih. Dari kasus yang dijalankan oleh Cady Canton inilah yang sebenarnya menjadikan isu feminism itu mulai bangkit dan memberikan segala asumsinya keapda masyarakat, bahwa gerakan feminisme adalah hal yang patut diperjuangkan. Hal-hal yang berkaitan dengan feminisme, harus diselesaikan, apalagi jika menyangkut hak pilih wanita tersebut.

Serupa dari kasus yang ada di Seneca Falls, tentunya kasus ini menjadi salah satu sejarah yang ada, bahwa kaum feminism berhak memperjuangkan hak-haknya dalam dunia politik. Jika hanya saja perempuan itu termarginalkan dalam situasi politik yang ada, maka akan berakibat pada kurangnya pembangunan yang merata dari masyarakat itu sendiri. Memang, jika berdasarkan pada bentuk kasus ini, sangat kurang kontroversial dan tentu terksean kurang menarik, Mengapa?, karena sekitar tahun 1848 masih banyak kasus dan bentuk dari perjuangan hak-hak kaum minoritas yang harus diperjuangkan, apalagi jika ada kaitannya dengan perempuan sebagai pejuang rendah di masyarakat saat itu. Lantas kemudian, mengapa harus hak pilih bagi kaum perempuan yang diperjuangkan? Lantas bagaimana dengan hak-hak minoritas lainnya yang banyak tidak terpenuhi dan belum terselesaikan?.

Memang, jika dianggap sebagai salah satu bentuk dari partisipasi politik dan perjuangan gender, maka perjuangan dalam memperoleh hak pilih itu bagian dari dalamnya. Misalnya saja, dari tindakan perbudakan bagi kaum minoritas, adalah contoh yang jelas dari penolakan dari kesetaraan hukum yang paling dasar daripada memperoleh kesempatan membangun tata kelola kehidupan yang bermartabat. Sebabnya apa?, tentunya karena adanya inkonsistensi dalam penegakan hukum, serta tidak adanya perubahan yang jelas dari hukum itu sendiri. Maka dari itu, kewajiban dalam menjalankan hukum yang baik dan benar adalah hal yang patut diperjuangkan, demikian juga bagi segala pihak yang ada dalam suatu komunitas. Masalah ini ada akhirnya bermuara pada hak-hak pada perempuan, yang dibungkus dalam nilai-nilai kebebasan, kesetaraaan dan demokrasi.

Jika melihat beberpa kasus dari perbudakan, biasanya pendukung hak kebanyakan wanita termotivasi oleh gerakan kebangkitan agama. Kebaangkitan dan kesadaran dalam menjalan agama adalah hal yang sangat berpengaruh di abad kesembilan belas. Bahkan, dari pengaruh agama inilah yang kemudian menjadi landasan kehidupan masyarakat kala itu, dengan menjunjung tinggi moralitas dan adat istiadat setempat. Slogan yang terlontar dari Susan B. Anthony, mengatakan bahwa  misalnya, adalah "ketahanan terhadap tirani adalah ketaatan kepada Tuhan.". Inilah yang menginspirasi sebagian perempuan untuk mengadakan gerakan-gerakan serupa dalam  masalah perbudakan. Dalam masalah ini juga mengindikasikan bahwa wanita perlu disejajarkan hak-haknya dalam tingkat kemanusiaan, yang di mana laki-laki dan perempuan mempunyai peran di ranah publik. Meskipun beberapa pendapat yang keluar adalah tidak adanya ketidaksuksaan pada gerakan hak pilih wanita, karena terkesan seperti gerakan konservatif yang selalau ada keterkaitan yang erat dari dalam gereja. Dari ini saja, juga membuktikan bahwa kampanye abad kesembilan belas terhadap prostitusi dan perdagangan perempuan dan undang-undang perlindungan khusus bagi pekerja perempuan dibuat yang didasarkan pada gagasan bahwa kerentanan akan selalu terjadi pada perempuan, hingga perlindungan bagi kaum perempuan wajib dipenuhi.

Meskipun banyak organisasi hak pilih wanita saat ittu, yang dalam negeri aktif di abad kesembilan belas, pada akhirnya menimbukan suatu gerakan organisasi aktif dalam dalam melontarkan dukungan pada  hak pilih perempuan. Organisasi ini bernama International Woman Suffrage Association (IWSA), atau Asosiasi Internasional untuk Hak Pilih Wanita, yang kegiatannya berupa kampanye-kampanye internasional untuk hak pilih yang berdasarkan pada persamaan hak bagi semuanya, khususnya bagi kaum perempuan. Lantas, bagaimana kemudian model kampanye yang dilancarkan oleh kelompok tersebut?

Ada beberapa karakteristik tertentu yang menandai kampanye wanita hak pilih internasional. Pertama, tidak seperti gerakan anti perbudakan, kampanye lebih mengandalkan simbolis dan tekanan politik daripada hanya sebatas penyebaran informasi. Dalam gerakan yang digencarkan oleh wanta adalah salah satunya karena kurangnya distirbusi informasi yang jelas dan kekurangan pemahaman yang mendalam di lingkaran sosial kemasyarakatan. Maka dair itu, kampanye yang dilakukan oleh mereka untuk memberikan informasi dan pemahaman bagi publik bahwa wanita adalah bagian dari dunia internasional yang perlu diakui hak-hakya. Kaum perempuan lebih dari sekedar kaum minoritas dari masyarakat, akan tetapi juga bagian dari sumber daya yang tenaga dan usaha yang dimaksimalkan oleh mereka sangat berguna. Akan tetapi, dalam hal partisipasi politik dengan pemerintah, tidak adanya bentuk partisipasi wanita dalam hal ini. Diawal hanya sebatas dari gerakan yang memperuangkan suara wanita melalui gerakan advokasi, agar suara mereka didengarkan.
Salah satu bentuk dari organisi internasional, yang berdiri sebagai promosi dalam hal organisasi advokasi suara hak pilih bagi wanita internasional atau World’s Women’s Christian Temperance Union (WCTU).  WCTU adalah salah satu gerakan dari organisasi internasional yang mengurus dan memaksimalkan peran hak suara perempuan. Mereka percaya bahwa suara akan menimbulkan pengaruh yang kuat berbentuk larangan-larangan, dan segala akumulasi tindakan  dan keamanan fisik untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka, hingga WCTU berubah dari organisasi perempuan Protestan konvensional untuk sebuah organisasi agresif politik untuk berbagai problematika dalam masyarakat, termasuk hak pilih. Ini bisa dibuktikan dengan adanya, suara-suara kaum perempuan yang diperoleh sekitar tahun 1980 dan 1902 di Australia dan Selandia Baru. Sebagai contohnya juga terjadi di negara-negara bagian, seperti Wyoming, Utah, Colorado, dan Idaho yang didominasi oleh anggota WCTU yang berdiri di garda terdepan sebagai promotor gerakan hak pilih wanita. Diakhir, para aktivis yang berhasil menghasilkan dan melancarkan tujuannya di negara tersebut, kembali ke Amerika dan negara Eropa untuk menyebarkan cerita tentang bagaimana mereka telah memenangkan suara dan apa artinya bagi mereka.

Selain itu, ada juga alur atau bentuk dari gerakan perempuan, yang berkaitan dengan gerakan sosialis internasional. Jika dilihat dari pola perkembangan sejarah, semuanya dimulai pada tahun 1990. Pada tahun itu, gerakan Sosialis Internasional mengeluarkan resolusi hak pilih wanita pertama, tetapi hak pilih menjadi permintaan fundamental partai-partai sosialis hanya pada tahun 1907. Perempuan sosialis di seluruh dunia tidak seharusnya bekerja sama dengan "suffragists borjuis", tetapi dalam prakteknya pendukung sosialis dan non-sosialis untuk gerakan hak pilih wanita bekerjasama secara ekstensif. Inilah yang kemudian menjadi salah satu entuk dari pola gerakan sosialis yang bekerjasama dengan para kaum sosialis internasional. Ketiga, bentuk dari gerakan internasional untuk hak pilih wanita hak pilih adalah hak pilih independen. Ini juga disebut untuk membedakan mereka dari para pihak yang lebih moderat. Aktivis ini lebih menganjurkan pada agitasi publik, pembangkangan sipil, dan akhirnya taktik dan tindakan kekerasan diberlakukan untuk permintaan mereka untuk suara. Mereka lebih melakukannya dengan tindakan yang anarkis, seperti maju ketingkat parlemen dan menghadapi pembicara pada pertemuan tertentu, merantai diri ke pagar di depan gedung-gedung pemerintah, melemparkan batu melalui jendela, dan berpartisipasi dalam demonstrasi jalanan yang sering berakhir dalam bentrokan dengan polisi dan pihak bermusuhan. Ujungnya, mereka mendekam di dalam penjara, dan sekali di penjara mereka terlibat dalam mogok makan dan harus diberi makan secara paksa. 

Ada lagi organisasi perempuan yang lebih terkenal selain yang disebutkan diatas. Organisasi tersebut adalah adalah Women’s Social and Political Union (WSPU) yang berlokasi Britania Raya, di bawah kepemimpinan keluarga Pankhurst, yang dimana taktik mereka memiliki pengaruh internasional yang luar biasa. Meskipun tidak mendukung taktik yang lebih militan dari hak pilih, Women’s Social and Political Union menyediakan wadah khusus bagi kaum perempuan untuk memfasilitasi pengaruh mereka." Dalam pertemuan internasional reguler, WSPU kelompok ini lebih menguasai pada bentuk dan pola pengaruh militansi tersebar di antara anggota yang membawanya kembali ke negara asal mereka. 

Keempat, gerakan internasional perempuan juga diaktualisasikan oleh gerakan International Council of Women (ICW), yang didirikan pada tahun 1888. Setelah tahun 1904, kelompok itu mengadopsi beberapa hak pilih, yang kemudian siap memberikan prioritas masalah di atas isu-isu lain pada perusahaan agenda, termasuk tuntutan untuk upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, akses ke profesi, alokasi dana unutk tunjangan kehamilan, mengungkit penindasan perdagangan perempuan dan anak-anak melalui proses perdamaian dan arbitrase, perlindungan pekerja perempuan dan laki-laki, dan pengembangan mesin untuk meringankan perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Meskipun tidak terlalu bergerak di di garis depan seperti gerakan lainnya, ICW memberikan kontribusi dengan mempromosikan komunikasi antar organisasi perempuan di berbagai negara. Selain itu, ICW juga bekerja secara aktif dengan organisasi-organisasi antar pemerintah dan konferensi, termasuk konferensi perdamaian internasional di Den Haag dan Liga Bangsa-Bangsa. 


Referensi

Margaret E. Keck, Kathryn Sikkink, (1998), Activists Beyond Borders, Advocacy Networks in International Politics”, (1998), Cornell University Press.


Jumat, 14 April 2017

Islamic Political Series

The Emergence of Islamic Political and Democracy Studies as A Solution for Islamic Civilization in Current Era
Muhammad Akbar Rahmadi
Student of International Relations, University of Darussalam Gontor, Ponorogo, East Java, Indonesia
Preparing this essay, the author however, worries about not being able to get some issues and preparation in order made some information related to Islamic Political Studies. However, it is changed when the author realized the writer's position at this time as a student of international relations and stays at islamic university to provide little argument on Islamic political studies. This paper wil be described about the solution for implementation of Islamic Political Studies in order to create a good democracy system in current era. With the support of the author's identity as a Muslim in Indonesia, adding the reason for the writer is trying to give some feedback and scientific arguments for political progress of Islam for Indonesian society. By the large number of adherents of Islam, then Indonesia is not said as an Islamic state, but not too a secular state. Islam and the different religions that exist in Indonesia, united to jointly build Indonesia as sovereign and independent country. Indonesia does not immediately put and lay religious activity in private space, but the integration effort between the two dimensions is believed to be the core strength of Indonesia in facing all challenges in current era.
Keyword: Politic, Scientific, Democracy, Secular






A.            Introduction
“Human is a zoon politicon (political cretaures), sometimes the friend becomes an enemy, and sometimes an enemy become a friend”
-unknown
Hingga hari ini, politik menjadi salah satu aspek yang paling penting dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, penulis mengambil studi kasus dari dua dimensi yang berbeda, yaitu Islam dan Barat, yang keduanya merupakan dua kebudayaan yang berbeda dalam ranah teologis akan tetapi bersama-sama mempunyai tujuan yang sama dalam mempromosikan ilmu politik sebagai prioritas utama dalam ranah pemerintahan negara yang mempunyai otoritas tertinggi dalam mengurus negara dan masyarakat sosial. Umat manusia sehari-harinya diwarnai oleh dinamika kegiatan politik sebagai poros utama dalam mendominasi satu sama lain, demi berusaha mendapatkan kepentingan dan tujuan yang diimpikan oleh manusia itu sendiri. Tantangan yang kemudian timbul di sini adalah, bagaimana agar seorang Muslim mampu mengahadapi tantangan zaman yang erat kaitannya dengan globalisasi dan dikawal oleh perkembangan sekularisme Barat. Situasi politik global juga menjadi salah satu faktor bagi seorang Muslim untuk mampu mempelajari politik sebagai cabang keilmuan dari nilai-nilai kemanusiaan dan kekuasaan yang integral dengan kehidupannya.
Politik adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Setiap hari manusia akan terus berpikir bagaimana agar bisa mencapai kepentingannya, baik dengan sesamanya maupun dengan musuhnya. Dalam rangka mewujudkan identitas yang sama dan integrasi kuat antara manusia dan manusia yang lainnya, maka bentuk perpolitikan yang hingga hari ini berkembang adalah pola yang diusahakan manusia agar mendapatkan pengakuan diantara komunitas yang ada. Dalam hal pencapaian kekuasaan, maka bentuk dari integrasi dan korelasi politik dan manusia adalah bagaimana agar manusia itu dapat mencapai kepentingan dan mampu mengakomodir kepentingannya di masyarakat sosial. Masyarakat sosial yang terdiri dari berbagai macam manusia saja merupakan bentuk kompetisi satu sama lain, hingga usaha untuk mendominasi satu sama lain adalah usaha yang yang dimaksimalkan untuk mencapai kepentingan manusia, melalui kesamaan nilai-nilai dan tujuan yang sama.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah, kehidupan kontemporer yang dikawal oleh kemajuan dan perkembangan zaman, diikuti dengan naungan globalisasi dan arus kemajuan teknologi dan informasi. Selain itu, perilaku dunia internasional yang didominasi oleh nilai-nilai barat juga berlaku pada semua lini kehidupan manusia, termasuk di dalamnya kehidupan sosio-ekonomi, serta pemikrian yang didominasi oleh nilai-nilai dan pemahaman kontemporer. Bentuk pemahaman kontemporer saat ini bisa dilihat melalui perang pemikiran atau ghazwul fikr, berupa empirisisme, rasionalisme, dualisme dan dikotomi, sekularisme, desakralisasi, pragmatisme dan berbagai macam pemahaman lainnya, yang semuanya didominasi oleh paham-paham dari peradaban barat. Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi kalangan intelektual muslim, khususnya di Indonesia dalam mengoptimalkan dan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dan politik, sosial dan ekonomi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kehidupan seorang Muslim, maka salah satu hal yang dapat diterapkan dalam kehidupannya adalah memperdalam dengan jelas dan singkat mengenai ilmu politik. Ilmu politik dalam Islam merupakan bidang kajian yang harus dipelajari, karena di dalamnya membahas tata cara pengaturan agama dan control sosial di ruang publik. Islam dan ilmu politik adalah hal yang integral dan tidak terpisahkan, bahkan tanpa ilmu politik sekalipun, perjalanan seorang Muslim akan terhambat karena kurangnya pemahaman yang mendalam akan ilmu politik itu sendiri. Bagaimana kemudian agar Politik dan agama bisa disatukan dan menadi suatu kesatuan yag mampu mengenlola tatanan kehidupan masyarakat sosuak yang beragam. Pemahaman yang mendalam ilmu politik, baik melalui aktualisasi di lapangan dan dalam ranah akademik, maka seorang Muslim.
B.            Islam sebagai Agama dan Negara
Berbicara mengenai Islam, kita tentunya tidak hanya berbicara mengenai agama saja, melainkan seluruh aspek yang ada di dalam Islam adalah bagian dari Agama yang harus dipenuhi oleh manusia sebagai wujud dari penghambaannya kepada Tuhannya, juga hubungannya dengan manusia sebagai bagian dari interaksi sosial sebagai dimensi dunia yang harus dijalankan oleh manusia. Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami merupakan seperangkat ketentuan dan aturan (‘aqidah wa al-syariah) yang bersumber dari Allah SWT. Agama, dalam keseluruhan aspek ajaran yang ada di dalamnya, menjadi panduan utama bagi manusia dalam kehiudpannya. Islam juga panduan bagi kehidupan manusia, berarti ia juga harus menjadi dasar utama bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial kebudayaan dan lain sebagainya.
Sebagai kumpulan ajaran Allah SWT, yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umat manusia sekalian, Islam disampaikan melalui kitab suci dan telah terkodifikasikan dalam bentuk Al-Qur’an. Al-Qur’an inilah yang kemudian menjadi dasar bagi seluruh lini kehidupan manusia. Tetapi, karena ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an memerlukan penjelasan, maka Nabi Muhammad SAW hadir sebagai penyampai kebenaran yang posisinya sebagai seorang yang pandai, cerdas dan menyampaikan kebenaran A-Qur’an melalui segala tindakan, ucapan, dan ajaran Nabi Muhammad kepada umat Muslim. Ia juga berperan sebagai orang yang menjelaskan Al-Qur’an (Mubayyin al-Qur’an). Nabi Muhammadlah yang kemudian memberikan penjelaskan secara operasional terhadap ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Karena itulah kemudian, keduanya --al-Qur’an dan Sunnah-- menjadi rujukan bagi perilaku umat Islam.
Karena Islam sebagai kumpulan ajaran yang berasal dari Allah SWT, dan kemudian dilembagakan melalui Nabi Muhammad SAW, dapat dikatakan bahwa yang bisa disebut memiliki kemutlakan untuk mengatur manusia di sini adalah Allah. Dalam pandangan ini Allahlah yang memiliki kedaulatan atas manusia. Allahlah (al-Khaliq) yang menentukan segala ketentuan dan aturan untuk sekalian ciptaannya (al-Makhluq), termasuk di dalamnya adalah manusia. Dengan demikian manusia harus tunduk dan patuh kepada semua ketentuan dan aturan Allah sebagai Tuhan semesta Alam. Dalam pada itu ketentuan dan aturan yang bersumber dari Allah dipandang memiliki nilai kemutlakan (ultimate values). Dengan demikian penilaian atas sesuatu yang dilakukan oleh Islam terhadap perilaku manusia secara pasti dan mutlak telah ditentukan apakah itu termasuk dalam kategori benar atau salah. Ketentuan hukum yang demikian adalah mutlak adanya dan tidak bisa dirubah dan akan berlaku sepanjang kehidupan manusia.
Islam merupakan agama yang komprehensif dan universal. Di dalamnya, terdapat segala macam ajaran dan dogma ketuhanan yang diberikan kepada manusia untuk menjalankan kehidupannya agar dapat hidup sejahtera dan berada dalam suasana yang damai dan rukun, menjunjung tinggi toleransi serta memprioritaskan hubungan dengan Allah sebagai Tuhan Semesta Alam. Inti kehidupan manusia adalah tidak hanya sejahtera di dunia, melainkan mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat pula. Oleh karena itu, manusia harus hidup berdampingan dan sejahtera dalam kehidupan sosial dan spiritual, serta dalam menjalankan segala norma dan tata aturan dalam kehidupan kemasyarakatan.
Salah satu wacana yang kemudian muncul dan menjadi persoalan yang baru dalam Islam adalah konsepsi mengenai kehidupan ketatanegaraan yang mengatur kehidupan manusia dalam suatu wadah yaitu negara, yang berlandaskan hukum dan undang-undang positif. Dalam hal ini, polemik mengenai sekularisme; atau pola kehidupan yang mempersepsikan antara pemisahan kehidupan bernegara dan beragama, telah menjangkiti umat Muslim dan menggerogotinya hingga sangat dalam, hingga aktualisasi dari hukum syari’at yang menjadi fokus utama seorang muslim sungguh sangat sulit untuk dilakukan.
Maka, berbagai macam usaha dilakukan oleh para akademisi, peneliti, bahkan praktisi, baik dia cendekiawan muslim, ‘alim ulama dan para politisi Muslim yang terus menerus mengkampanyekan dan mensosialisasikan akan kehidupan warga negara yang berlandaskan Islam.  Islam sebagai konsep yang sudah mengatur mengenai kehidupan warga negara dan religiusitas dalam satu paket secara bersamaan. Berbagai ijtihad ditempuh, baik itu melalui karya ilmiah berupa tulisan, seminar, dan bahkan tindakan advokasi langsung kepada pemerintahan. Akan tetapi, kendala besar dalam kemudian muncul dan menjadi problematika terbaru dalam pencapaian negara Islam adalah pemahaman yang sempit mengenai agama dan segala instrumennya terhadap negara menjadi persoalan baru di tubuh para praktisi dan akademisi, hingga tidak jarang telaah dan kajian lebih lanjut mengenai negara Islam hanya mengalami masa stagnasi di pertengahan proses aktualisasi. 
Oleh karena itu, jalan keluar yang kemudian diambil, apalagi menurut penulis sendiri adalah pemahaman yang dasar dan lebih mengenai hakikat dan konsep yang sebenarnya mengenai ketatanegaraan dalam kehidupan manusia, apalagi bagi umat Islam. Islam sebagai agama tidak hanya dipandang sebagai dogma ketuhanan yang hanya mengatur kehidupan umatnya di masjid dan tempat peribadatan saja, melainkan juga sebagai ajaran yang mengatur kehidupan sosial manusia, apalagi tentang nilai-nilai dan ajaran yang bermakna dalam kehidupan berbangsa, berbangsa dan bermasyarakat. Allah SWT berfirman, “maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (Al-Maidah: 48).
Dalam perkembangan zaman yang terjadi saat ini, termasuk di dalamnya perkembangan nilai globalisasi, fenomena sistem demokrasi yang hingga hari ini diterapkan oleh mayoritas negara-negara di dunia, menjadi kasus yang sering dibahas dan menjadi perhatian bagi seluruh akademisi, para pakar politik, ilmuwan dan masyarakat secara luas. Di sisi lain, selainn bidang keilmuan yang diajarkan di dalam Islam, maka integrase agama dan politik pemerintahan adalah yang penting untuk dibahas, karena kduanya mupkana satu ksatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam agama Islam. Bagaimana kemudian agar demokrasi itu mampu diterima semua kalangan sebagai suatu sistem pemerintahan yang sesuai dengan masyarakat yang ada di stau wilayah, apalagi dalam hal kinerja pemerintahan. Orang berbondong-bondong kemudian mengkaji dan mempelajari mengenai sistem demokrasi saat ini. Adanya faham tentang “demokrasi” dipahami sebagian kalangan sebagai model pemerintahan yang cocok diterapkan di semua negara yang ada di dunia. Paham demokrasi ini lah yang kemudian menjadikan sistem pemerintahan di mayoritas negara di dunia melegitimasi sistem ini, dan bahkan di Indonesia sekalipun, Islam, demokrasi dan HAM dapat berjalan secara bersamaan”.
Konstelasi dan dinamika politik global yang saat ini berkembang di dunia internasional tidak lepas dari pemikiran kaum barat. Mereka dengan leluasanya menyebarkan paham-paham liberalisme dan imperialisme di seluruh belahan dunia yang lain, tak terkecuali Amerika Serikat, yang menjadikan HAM dan Demokrasi sebagai alat utama dalam menyampaikan segala propagandanya. Selain itu, wacana keilmuan yang berkembang di dunia saat ini, termasuk di dalamnya ilmu Hubungan Internasional, menjadikan sebagian orang-orang barat semakin percaya diri akan eksistensi dan konsistensi diri mereka dalam segala pengambilan kebijakan dan keputusan dalam setiap dinamika politik politik luar negeri yang terjadi. Untuk itu, ilmu hubungan internasional yang lahir di awal abad ke 19 menjadikannya sebagai salah satu studi yang fokus terhadap penentuan-penentuan kebijakan politik (Decision Making), apalagi dunia yang saat itu mengalami suatu konflik luar biasa, yang berwujudkan dalam dua perang besar yang sangat mengancam umat manusia saat itu, yaitu perang Dunia I di tahun 1914, dan Perang Dunia II di tahun 1945. Oleh karena itu, sebagian besar para pelajar, penstudi, tak terkecuali sarjana dan para doktor dan profesor beranggapan bahwa ilmu hubungan internasional merupakan ilmu yang sangat belia dan masih sangat baru, asumsi dasar ini dapat dilihat dari berbagai dampak nyata dalam setiap kejadian politik yang ada di dunia internasional. Para ahli politik, negara dan strategi perang di sekitar tahun 1945 memulai beberapa kajian yang fokus untuk mendalami studi-studi yang berhubungan dengan hubungan internasional pada masa itu. Krisis misil Kuba pada tahun pada tahun 1963 menydarkan sebgian orang bahwa sangat berbahayanya perang nuklir. Gerakan anti penjajahan di Asia dan Afrika pada tahun 1950 dan 1960 serta gerakan pemisahan diri di bekas daerah Uni Soviet dan di bekas daeah Yugoslavia pada akhir perang dingin menjadikan betapa pentingnya menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan politik yang harus terus menerus dijunjung tinggi. Selain itu inflasi Global pada tahun 1970 dan awal 1980 yang disebabkan oleh peningkatan yang sangat dramatis oleh negara-negara pengekspor minyak (OPEC) telah menimbulkan ancaman terbaru bagi kesejahteraan masyarakat internasional dimanapun ia berada di dunia. Perang Gurun (1991-1991) dan Konflik Balkan (1992-1995) merupakan petunjuk betapa pentingnya keamanan internasional dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Bahkan sekarang pun, ketegangan yang dimunculkan oleh Korea Utara dan beberapa negara pendukung nuklir di dunia menimbulkan polemik tersendiri.
Ini membuktikan bahwa dalam setiap gejolak politik yang terjadi dalam dunia internasional mengalami perkembangn yang sangat signifikan dan naik turun, seiring dengan berkembangnya zaman dan berubahnya fokus dan dinamika politik yang ada di setiap era yang berbeda. Dalam studi hubungan internasional misalnya, kelas-kelas perkuliahan mulai dibuka dan pelajar studi hubungan internasional mulai meminati ilmu tersebut pada tahun 40-an. Presiden Amerika Serikat yang ke-28 Woodrow Wilson merupakan salah satu tokoh yang mengajarkan keilmuan hubungan internasina di Universitas Wales pada tahun 1943. Salah satu contohnya adalah Universitas Chichago pada tahun 1943, yang mulai di buka oleh Hans J Morghentau, beliau juga menjabat sebagai Direktur dari Pusat Studi Politik Luar Negeri Amerika Serikat di Universitas yang sama. Di tempat lain ada di Universitas Chichago, Amerika Serikat, uga mengajarkan bidang studi yang sama. Beberapa pelajar mulai mengembangkan wacana keilmuan mereka dengan mempelajari ilmu politik, khususnya dalam bidang luar negeri dan dibimbing langsung oleh pakar pakar politik dan hubungan internasional pada bidangnya. 

1.              Konsep Negara dalam Islam
Pada hakekatnya, pembahasan mengenai korelasi antara negara dan Islam sudah dimulai sejak dulu, bahkan sejak dimulainya perumusan perundang-undangan dan peraturan kemasyarakatan yang dituangkan oleh nabi dalam bentuk Piagam Madinah. Prof. Suyuthi Pulungan dalam Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, ditinjau dalam Pandangan Al-Qur’an, berpendapat bahwa bukti dari adanya piagam Madinah ini mendahului ayat-ayat kemasyarakatan yang belum sempurna, dan ini merupakan salah satu langkah politik atau siyasat Rasul, untuk mewujudkan kemasalahatan bagi masyarakat luas.
Apabila dikaji mengenai konsep negara Islam ketika zaman kerasulan, maka Rasulullah sebagai salah satu pemimpin agama, di sisi lain ia juga sebagai pemimpin negara. A. Hasjmy dalam bukunya Dimana letaknya Negara Islam telah menerangkan dengan begitu konkrit mengenai konsep dan tata aturan negara yang berbentuk Daulah Islamiyah. Menurutnya, awal pembentukan Daulah Islamiyah zaman Rasul SAW dimulai dengan pembentukan sebuah pasukan yang terdiri dari pemimpin dan perwira yang berasal dari suku ‘Aus dan Khazraj. Pada prosesi ini, dimulai dengan kedatangan Rasul ke Yastrib dan membentuk suatu kekuatan massa di daerah tersebut. Ini merupakan kekuatan fisik pertama di luar Mekkah.
Setelah pembentukan kekuatan politik dan pembentukan perwira yang terdiri dari 12 orang tadi, maka Rasul pun hijrah ke Madinah bersama sahabatnya yaitu Abu Bakar. Hijrahnya Rasul ke Yastrib, berarti berkumpulnya panglima tertinggi dengan para perwira dan pasukannya, dan saat itu pulalah dinyatakan berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam) yang pada waktu itu masih memakai istilah “umat Islam”. Peristiwa HIjrahnya Rasul itu kemudian ditetapkan sebagai awal mula lahirnya Tahun Hjriyah. Selain perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah, lahir pulalah unsur kekuatan (Shultah) yangberpusat pada Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya.
Selain itu, pendapat yang sangat baik juga dikeluarkan oleh Fazlurrahman. Dr. Hasbi Amiruddin dalam “Konsep Negara Islam menurut Fadzlurrahman”, ia menyatakan bahwa Fazlurrahman menganggap bahwa Islam memerintahkan agar persoalan-persoalan kaum Muslimin ditanggulangi melalui Syura’ atau konsultasi timbal balik. Ia juga berpendapat bahwa dengan penerapan Syura maka menjadi instrumen dasar dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, pendapatnya yang membangun yaitu mengenai kebebasan. Menurutnya, kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan kritik yang konstruktif kepada pemerintahan merupakan salah satu tugas keagamaan yang harus dicapai.
Ali Maschan Moesa dalam NU, Agama dan Demokrasi menyatakan bahwa Al-Maududi dan para pakar politik Syi’ah merupakan salah satu penggagas konsep integrasi antara agama dan negara yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Model hubungan ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan lembaga politik sekaligus lembaga agama. Konsep ini senada dengan pemahaman ilmuwan dan cendekiawan modern dengan paham teokrasi. Menurut Al-Maududi, kekuasaan dalam Islam terbagi menjadi dua bagian, yaitu kepala negara dan lembaga legislatif. Dalam hal ini maka kepala negara mempunyai peranan yang sangat dominan dalam penentuan kebijakan dan pemberian keputusan kepada masyarakat, karena ia merupakan pemimpin yang loyal terhadap hukum Tuhan dan memiliki hak veto dalam penentun keputusan yang telah disepakati oleh Dewan Penasehat. Oleh karena itu, hubungan integralistik ini tidak dapat dipisahkan begitu saja.  
Berbagai macam pendapat mengenai bagaimana arti dan konsepsi negara dalam pandangan Islam. Selain Al-Maududi, ada juga pendapat dari Al-Ghozali dan Al-Mawardhy. Menurut Al-Mawardhy, negara dan agama memiliki hubungan yang kuat dan sangat simbiotik, sebab Imam adalah sebagai instrumen penerus misi kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia. Dalam hal ini, agama dianggap sebagai instrumen untuk mengatur dan pengontrol dunia. Sedangkan menurut Al-Ghazali, ia mengemukakan bahwa politik mendapat posisi satu tingkat dibawah agama. Gambaran dasar dari ungkapan Alghozali ini yaitu pemenuhan segala kebutuhan masyarakat berupa industri, profesi dan kepala negara yang mempunyai legitimasi keagamaan. Bentuk dari industri itu berupa pertanian, pemintalan, yang didukung oleh pembangunan politik. Sedangkan profesi politik yang dibutuhkan adalah yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat, seperti sub-profesi pengukuran tanah, sub-profesi ketentaraan, sub-profesi kehakiman, dan sub-profesi ilmu hukum. Dari kedua argumen yang luar biasa ini dibungkus dan dirangkum sedemikan rupa dalam karya monumental mereka, yaitu dalam ¬al-Ahkam As-Shulthoniyyah karya Al-Mawardhy dan Ihya ‘Ulumuddien karya Al-Ghozali. 
Dari berbagai macam pengertian dan pemahaman terkait konsepsi negara dalam perspektif Islam diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa di samping Islam sebagai agama, Islam juga sebagai dasar yang mengatur tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam yang hadir di tengah kehidupan manusia tidak mungkin hanya sebagai salah satu doktrin dan dogma yang turun dari langit saja, melainkan juga sebagai tuntutan dan seperangakt aturan yang dibuat khusus untuk mengatur seluruh kehidupan manusia, baik kehidupan dalam sosial, politik, ekonomi dan budaya yang beragam.
Dalam hal peribadan kepada Tuhan, lslam lebih mengutamakan wujud penghambaan yang diaktualisasikan melalui ibadah dan ajaran yang berpacu pada nilai-nilai keagamaan yang sangat berhubungan dengan kehidupan manusia itu sendiri. Sedangkan Barat, lebih mengedepankan manusia dalam hal implementasi nilai-nilai kehidupan sosial tanpa ada integrase kehidupan religiusitas di dalamnya. Secra kajian ilmiah dan aspek religiusitas, Islam dan Barat memang merupakan hal yang berbeda. Meskipun ada beberapa yang sama, termasuk nilai-nilai global seperti kemanusiaan, nilai-nilai demokrasi dan kebebasan individu.  Dalam Islam, semua hal diselenggarakan dalam kehidupan ada aturan mainnya, yang diatur oleh Tuhan Sang Pencipta. Sedangkan dalam peradaban Barat, semuanya berjalan dengan sendirinya dan tanpa ada aturan dari sang Pencipta.
2.              Demokrasi dan Islam
Salah satu cabang dari ilmu politik, khusus di era kini adalah implementasi dari nilai-nilai dari sistem Demokrasi. Demokrasi diyakini sebagai salah satu sistem pemerintahan modern yang ccok diterapkan di sebagian negara mayoritas di dunia. Sistem demokrasi juga diyakini sebagai sistem yang menerapkan kebebasan bagi setiap individu. Sistem pemerintahan modern inila yang diterapkan di berbagai negara di dunia karena lebih terbuka dan menerima kepentingan segala golongan. Istilah demokrasi berasal dari penggalan kata Yunani "demos" yang berarti "rakyat" dan kata "kratos" atau "cratein" yang berarti "pemerintahan," sehingga kata "demokrasi" berarti suatu "pemerintahan oleh rakyat". Kata "pemerintahan oleh rakyat" memiliki konotasi; (1) suatu pemerintahan yang "dipilih" oleh rakyat" dan (2) suatu pemerintahan "oleh rakyat biasa" (bukan oleh kaum bangsawan), bahkan (3) suatu pemerintahan oleh rakyat kecil dan miskin (government by the poor) atau yang sering distilahkan dengan "wong cilik'. Namun demikian, yang penting bagi suatu demokrasi bukan hanya siapa yang memilih pemimpim, tetapi juga cara dia memimpin. Sebab jika cara memimpin negara tidak benar, baik karena rendahnya kualitas dan komitmen moral dari sang pemimpin itu sendiri, maupun karena budaya masyarakat setempat yang tidak kondusif, maka demokrasi hanya berarti pemolesan dari tirani oleh kaum bangsawan menjadi tirani oleh masyarakat bawah.
Sebenarnya, yang dimaksud dengan demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam suatu negara di mana semua warga negara secara memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan kekuasaan yang baik dalam menjalankan kehidupannya maupun dalam berpartisipasi terhadap kekuasaan negara, di mana rakyat berhak untuk ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi jalannya kekuasaan negara, baik secara langsung misalnya melalui ruang-ruang publik (public sphere) maupun melalui wakil-wakilnya yang telah dipilih secara adil dan jujur dengan pemerintahan yang dijalankan sematamata untuk kepentingan rakyat, sehingga sistem pemerintahan dalam negara tersebut berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, untuk kepentingan rakyat, from the people, by the people, to the people). Karena itu, sistem pemerintahan demokrasi dipakai sebagai lawan dari sistem pemerintahan tirani, otokrasi, despotisme, totaliterisme, aristokrasi, oligarki, dan teokrasi.
Dalam kaitan ini, demokrasi adalah suatu sistem di mana warga negara bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas. Dari pendefinisian yang demikian bisa dilihat adanya implikasi antara lain terhadap: (a) cara pengangkatan kepala negara atau semua jajaran pejabat lembaga pemerintahan, (b) cara pengambilan keputusan tentang suatu perundang-undangan atau peraturan pemerintah.
Adanya penekanan yang demikian terfokus kepada warga negara atau rakyat, maka dalam pemerintahan yang demokrasi selalu memberikan perhatian kepada warga negaranya. Implikasi dari cara pandang yang demikian adalah pada diletakkannya pilar-pilar demokrasi yang selalu mengutamakan kepentingan warga negara. Pilar-pilar demokrasi itu antara lain: (a) kedaulatan rakyat, (b) Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah (rakyat), (c) kekuasaan mayoritas, (d) hak-hak minoritas, (e) jaminan hak-hak asasi manusia, (f) pemilihan yang bebas dan jujur, (g) persamaan di depan hukum, (h) proses hukum yang wajar, (i) pembatasan pemerintah secara konstitusional, (j) pluralisme sosial, ekonomi dan politik, dan (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat6. Demokrasi, oleh karena itu, bergantung kepada pembangunan suatu budaya warga negara yang demokratis. Budaya dalam pengertian ini adalah perilaku, praktek dan norma-norma yang menjelaskan kemampuan warga negara untuk memerintah diri sendiri. Pemerintah yang merupakan representasi warga negara dengana sendirinya juga harus memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengejar kepentingan dan menjalankan hak-hak mereka.
Dalam sistem demokrasi, rakyat sebagai pemegang wewenang mempunyai leluasa untuk menentukan arah pemerintahan yang berkembanga di suatu negara. Mereka membuat keputusan sendiri tentang pekerjaan yang akan mereka lakukan, jenis pekerjaan yang akan dilakukan, partai politik mana yang akan diikutinya atau bahkan tidak akan terlibat dalam partai politik, dan seterusnya. Pada intinya adalah adanya “kebebasan”. Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi keduanya tidak sama. Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga menyangkut seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah yang panjang. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah “pelembagaan” dari kebebasan dalam kehidupan benegara. Oleh karena itu, wajar kalau dalam perkembangan wacana demokrasi selalu terkait dengan persoalan kebebasan, misalnya saja hak asasi manusia, persamaan di depan hukum, dan toleransi. Karena di dalam contoh-contoh tersebut terkandung makna kebebasan warga negara sebagai pusat tertinggi dalam sistem pemerintahan demokrasi.
Dalam sistem demokrasi, semua yang ada dalam sistem regulasi dan sistem pemerintahan berada pada kedaulatan rakyat. Rakyat yang menjadi patokan, bukan berarti rakyat yang semena-mena memberikan instruksi kepada pemerintah dan langsung dijalankan begitu saja, melainkan rakyat itu hadir sebagai kekuatan utama sebagai ruh yang mengakar kuat di dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Rakyat yang ada dalam sistem demokrasi, terutama yang berada pada posisi masyarakat sipil, mempunyai wewenang besar dalam memberikan masukan dan opsi yang kontributif bagi negara, yang diwakilkan oleh para wakil rakyat yang duduk di pemerintahan. Pemerintahan yang ada di pusat suatu negara menghasilkan kebijakan dan berbagai peraturan dan regulasi, yang kemudian dapat disalurkan oleh para wakil rakyat yang duduk di kursi parlemen. Parlemen inilah yang terdiri dari berbagai macam kelompok kepentingan dan organisasi politik baik berupa partai dan lainnya, yang setiap 5 tahun sekali mengadakan pemilihan umum, baik di ranah kabupaten/daerah, atau tingkat nasional. Pemilihan gubernur dan presiden inilah yang kemudian memegang amanah dan tanggung jawab selama lima tahun, untuk membangun negara ke arah pemerintahan yang lebih baik. 
Dari sedikit gambaran di atas, fokus dan ruang lingkup demokrasi adalah pada persoalan kemanusiaan, dari manusia kepada manusia. Dan lebih fokus lagi adalah persoalan kekinian, duniawi. Dalam demokrasi tidak ada intervensi yang berasal dari pihak luar, di luar diri manusia, yaitu Allah SWT. Dengan demikian, dalam demokrasi tidak ada nilai-nilai yang bercorak ilahiah. Tidak ada nilai-nilai yang dipandang transendental yang abadi. Justifikasi benar dan salah yang dihasilkan dari demokrasi bercorak relatif, sangat bergantung kepada hasil kesepakatan bersama suatu masyarakat. Keputusan dan aturan yang dilembagakan sebagai hasil demokrasi tidak memiliki kemutlakan dan nilai transenden (spiritual). Produk aturan demokrasi semata bersifat temporal dan kekinian (duniawiah) semata.
C.            Islam sebagai Kajian Integratif dan Jalan Kehidupan
Dunia semakin mengglobal, dengan ditandai masuknya globalisasi di awal abad 20. Globalisasi juga tidak hanya didominasi oleh perkembangan transformasi tekologi dan informasi saja, melainkan tingkat pengaruh kekuasaan suatu negara dari suatu negara ke negara lain mempengaruhi kegiatan politik global yang diwarnai oleh berbagai macam kepentingan dan tujuan yang berbeda, termausk kajian keislaman sebagai bagian dari usaha kaum Muslim dipromosikan di dunia. Dalam hal ini, Islam dimana-mana menjadi pembahasan yang menarik bagi akademisi dan kaum intelektual di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2008, Japan International Institue of International Affairs mengadakan Symposium di Tokyo, tentang Islam in Asia, Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam. Untuk mengetahui masa depan gerakan Islam, pembahasan ini dibagi menjadi beberapa sesi antara lain pembahasan mengenai Politik Islam dan kaitannya dengan Demokrasi, sekularisme dan perundang-undangan. Kedua, tinjauan peran dan partisipasi organisasi kelompok Islam, yang menitik beratkan pada studi kasus organisasi dan gerkan keislaman di beberapa negara di Dunia, termasuk Singapura, Mesir dan Indonesia. Selain itu, pembahasan mengenai tingkat moderasi Muslim termasuk meninjau kelompok radikal dan ekstrim juga menjadi pembahasan bagi symposium ini.
Intinya, dalam simposium ini membahas tiga hal yang terdiri dari Demokrasi dan Sekularisme, Gerakan Politik Islam, serta moderasi muslim dan Gerakan radikalisme. Salah satu pembahasan yang paling fundamental dari symposium ini yaitu peninjauan ulang dari gerakan politik Islam dan hubungn konseptual dengan demokrasi, sekularisme dan Islam. Bagi Dr. Syed Ali Tawfik Al-Attas, istilah demokrasi dan juga sekularisme yang kini didengungkan sebagai dasar kehidupan politik modern, menjadi membingungkan ketika mulai didefinsikan. Namun, jika dikaji secara mendalam, akan sampai pada pembahasan pada kebebasan dan keadilan. Namun, ini tidak berarti Politik Islam selalu sama dena nilai Barat. Adanya persamaan mendasar tentang demokrasi dan prinsip Shura bagi Islam memang tidak data dipungkiri. Itulah sebabanya, Tasir Yakis, Ketua Komisi Uni eropa pada parelemen Turki, memandang bahwa hanya sekedar adanya prinsip Shura kita tidak dapat menyimpulkan bahwa Islam sesuai dengan Demokrasi, sebab dalam demokrasi masih terdapat makna kebebasan, kejujuran dan keterbukaan dalam pemilihan umum. Dr. Azzam Attamimi, Direktur Lembaga London-Based Institue of Islamic Political Thought (IIPT), London, dan Dr. Sohail Mahmud, Dekan Fakultas Politik dan Hubungan Internasional di International Islamic University of Islamabad, Pakistan, sependapat dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Bahkan menurut Tamimi, Barat telah memodifikasi sistem Shura dalam Islam menjadi sitem demokrasi. Hanya saja, jika Tauqfik Al-Attas apabila membahas teori Demokrasi Barat, selalu saja bermasalah karena di sebagian tubuh Umat Islam ada yang menerima dan ada yang tidak dengan konsep demokrasi ini.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Yakis memandang bahwa secara teoritis Demokrasi dapat dilaksanakan di sebagian negara Islam tanpa merusak ajaran agama. Hanya saja, ada beberapa negara Islam yang pelaksanaan demokrasinya kurang baik belum bisa menjadi conth bagi negara lain. Oleh karena tidak adanya Demokrasi tidak bisa selalu dikaitkan dengan Negara Islam. Sedangkan merujuk pada pemahaman sekulaarisme, maka untuk menerapkan sistem demokrasi yang mapan, maka suatu negara harus menjadi sekuler sebab demokrasi hanya bisa diterapkan di negara sekuler. Persoalannya, sekularisme sebagai konsep dikatakan sebagai konep yang bermasalah. Tidak seperti demokrasi, konsep seperti sekularisme datang bersamaan dengan istilah-istilah lain seperti modernitas, westernisasi, dan kolonialisme. 
Sekalipun ada pemilikan mutlak dan kedaulatan yang berbeda antara Islam dan demokrasi, tidak berarti dengan sendirinya Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Banyak persoalan yang harus diurai lebih jauh mengenai kompatibilitas dan tidak kompatibelnya Islam dengan demokrasi. Tetapi, penjajaran Islam dengan demokrasi secara serta merta adalah merupakan cara pandang yang salah dan jelas keliru. Karena Islam merupakan seperangkat ketentuan dan aturan yang terkait dengan otoritas Allah Swt., secara mutlak. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, orang yang menyatakan bahwa antara Islam dan demokrasi terdapat segi-segi persamaan, itu hanyalah berarti menerangkan sebagian dari hakekatnya; karena hakekat yang sempurna ialah, antara Islam dan demokrasi ada perbedaan. Bahkan menurutnya yang lebih tepat ialah ada hal-hal yang bersesuaian, tetapi banyak hal-hal yang tidak bersesuaian, sementara demokrasi bersandar pada otoritas manusia, dan lebih menyangkut masalah prosedural. Meskipun diakui, dalam perkembangannya pemahaman terhadap demokrasi menjadi semakin kompleks, seperti misalnya hak-hak minoritas, jaminan hak-hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara konstitusional, menghargai pluralisme, toleransi, kerjasama dan mufakat bersama.
D.            Tantangan Politik Global bagi Komunitas Muslim
Berbicara mengenai Islam di kawasan internasional, banyak sekali tantangan yang kemudian dilahirkan oleh Barat menjadi bahan pertimbangan bagi seorang Muslim. Nilai-nilai Barat seperti dinamika pemahaman sekularisme kadang menjadi hambatan bagi perjalanan intekelektual komunitas muslim. Sekularisme secara mendasar menjadi pola pemahaman yang membedakan antara urusan agama dan negara, antara dimensi dunia dan akhirat secara dikotomis. Menurut Dr. Al-Azzam Tamimi, sekularisme wujud dari pembebasan politik dan urusan agama. Kolonialis berperan besar dalam menyebarkan sekuarisme ini. Sebab dengan konsep ini mereka dapat memarginalkan Islam atau menyingkirkan Islam dari proses restrukturisasi masyarakat pada masa colonial dan pasca kemerdekaan. Muslim yang terpengaruh oleh ide ini jelas berpandangan bahwa agar maju, Muslim harus mengikuti Kristen.
1.              Islam pasca Kejadian World Trade Center atau dikenal 9/11.
Menurut Harun Yahya, jumlah umat Islam di dunia mengalami peningkatan kuantitas secara signifikan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlahnya hanya sekitar 500 juta; 20 tahun kemudian sudah mencapai 1,5 miliar. Kini jumlah tersebut terus bertambah bahkan mencapai seperempat total jumlah penduduk dunia. Mereka tersebar di Asia (20%), Eropa (5% atau sekitar 38 juta jiwa), Amerika (sekitar 7 juta), dan kawasan lainnya. Data ini merupakan hasil survei terbaru lembaga survei Amerika Serikat, Pew Research Center.  Dengan data tersebut, maka setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center (WTC) pada tanggal 11 September 2001.      
Tragedi 11 September 2001 telah membawa dampak serius bagi dinamika politik global. Dunia terhenyak kala gedung World Trade Center (WTC) yang menjadi sentral ekonomi Amerika Serikat tersebut roboh diterjang pesawat yang disinyalir dikendalikan sekelompok teroris. Ribuan korban berjatuhan. Pasca kejadian, Amerika Serikat menyusun skenario dengan melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam tragedi tersebut. Presiden Amerika Serikat saat itu, George W. Bush kemudian mendeklarasikan istilah perang baru dalam konstelasi politik internasional, yang ia disebut sebagai War Again Terrrorism atau The New Crusade.  Dari sinilah kemudian, pro dan kontra bermunculan, terlebih saat Bush menginstruksikan perang dan mengkategorikan beberapa negara “pembangkang” sebagai Axis of Evil. Friksi antar negara tak terelakkan. Sebagian negara mendukung penuh kebijakan Amerika Serikat yang hendak memerangi teroris, dan sebagian yang lain, kontra dengannya. Mereka yang kontra menuding bahwa tragedi ini menjadi bagian dari konspirasi politik Amerika Serikat untuk memuluskan obsesinya menghancurkan Islam dan menguasai kawasan Timur-Tengah.
Hal penting yang perlu dikaji bahwa dalam ranah ilmiah, tragedi tersebut seolah menjadi pembuktian wacana benturan antar peradaban (The Clash of Civilizations) yang pernah dilontarkan oleh ilmuwan Barat. Wacana ini dipopulerkan oleh Bernard Lewis. Melalui artikelnya yang berjudul “The Roots of Muslim Rage” ia mulai menjajaki kemungkinan munculnya musuh baru bagi Barat pasca Perang Dingin. Musuh baru yang dimaksud adalah Islam. Dalam mukadimah bukunya; Islam and The West, Lewis (1993: vii) menegaskan bahwa konflik Islam dan Kristen sebenarnya telah berjalan ratusan tahun. Pada rentang waktu tersebut -meskipun mereka hidup berdampingan sebagai saudara beda agama- keduanya lebih sering menampakkan diri sebagai rival. Inilah opini yang dikembangkan oleh Bernard Lewis. Namun, posisinya sebagai penasihat pemerintah Amerika Serikat untuk Timur-Tengah disinyalir oleh beberapa pihak menjadi faktor kurangnya obyektifitas informasi yang dia kembangkan. Beberapa pihak menilai, opini tersebut sarat dengan kepentingan politis.
Wacana yang dipopulerkan oleh Bernard Lewis tersebut kemudian dimunculkan kembali oleh ilmuwan politik dari Harvard yang sekaligus menjadi penasihat politik luar negeri Amerika Serikat, Samuel P. Huntington, menegaskan bahwa konflik Islam versus Kristen adalah konflik yang sebenarnya. Sementara konflik Kapitalis versus Marxis hanyalah konflik sesaat yang kurang signifkan. Menurutnya, Islam adalah satu-satunya peradaban yang berpotensi besar menyaingi peradaban Barat. Diantara berbagai tawaran alternatif mengenai hubungan Islam dan Barat, term of the “clash of civilization” kemudian menjadi yang paling popular dan menjadi kenyataan dalam kancah global. Implikasinya, wacana ini merubah cara pandang publik internasional terhadap Islam, baik sebagai agama ataupun peradaban. Nyatanya, tema benturan antar peradaban yang dikemukakan oleh Bernard Lewis dan Samuel P. Huntington tersebut memang memberi andil dalam konstelasi politik global, utamanya menyangkut hubungan Islam dan Barat. Jika sebelumnya sejarah telah mencatat ketegangan antara Islam dan Barat sebagai bagian dari masa lalu, maka pasca tragedi 9/11 ketegangan tersebut kembali disemai dan seolah menandai perang baru.
Perseteruan antara dua kubu ini telah berlangsung lama, terlebih pasca pecahnya Perang Salib (Crusade) yang sangat bersejarah. Meskipun ada faktor lain yang menjadi pemicu pecahnya perang –misalnya persoalan rasial- namun benih-benih permusuhan antara keduanya banyak disebabkan oleh memori kelabu pasca Perang Salib. Gencarnya media dalam pencitraan Islam ternyata tidak selalu berakibat negatif. Seiring dengan maraknya wacana keislaman yang diciptakan Bush, sebagian warga Amerika Serikat justru ingin tahu lebih banyak tentang Islam. Bagi mereka, Islam menjadi teka-teki. Lantas kemudian, mengapa Islam begitu ditakuti Amerika Serikat? Dua minggu pasca tragedi, tidak kurang dari 11.000 warga Amerika Serikat mengikrarkan keislamannya. Berdasarkan keterangan Ketua Majelis Hubungan Islam Amerika, Nahad Audh, pada pertengahan November lebih dari 24.000 masyarakat Amerika Serikat menyatakan masuk Islam.
2.              Pandangan Barat mengenai Islam
Islam sebagai suatu peradaban semakin tidak berdaya di tengah-tengah dominasi peradaban Barat dan globalisasi lainnnya. Sekalipun konflik yang diakibatkan oleh Clash of Civiization tidak menjurus pada peperangan besar, ia sebenarnya secara diam-diam melahap bermacam-macam aspek budaya seorang Muslim dan kepetningannya. Islam menjadi bulan-bulanan bagi barat yang ingin mendomnasi dunia, dengan berbagai alasan. Semakin Barat berkembang, semakin kecil harapan kebangkitan dunia Islam. Negara Muslim yang kelihatan menantang peradaban Barat dan menggugat orde internasonal kontemporer akan digempurkan dan dihancurkan. Misalnya saja, kasus Arab Spring yag hinga hari ini masih memanas adalah bukti dari inkonsistensi Barat daalam kebijakannya di kawasan Timur Tengah. Nasib yang menimpa Sudan, Iraq, Mesir, Syiria, Libya, Somalia dan Iran adalah bukti dari iming-iming Barat terhadap dunia Islam. Serangan yang bermula pada 11 September 2001, adalah bukti dari penjelmaan Barat untuk mengubah strategi terhadap serangan perang besar-besaran ke negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah. Pada akhirnya, Spring yang menjanjikan di Timur Tengah berubah menjadi Winter yang kelabu. Kejadian kelam di New York 2001 tersebut pada akhinrya menjadi alasan fundamental Barat untuk memerangi Osama Bin Ladin, Muammar Ghaddafi, Saddam Husain, Jama’ah Islamiyah dan berbagai macam sektor masyarakat sipil yang tak berdosa.
Demikian juga para politisi Amerika Serikat dengan mudah mengunakan sentimen ‘anti Islam” yang sudah berurat berakar pada masyarakat Kristen Barat. Direktur CIA, George Tenet mengumumkan bahwa musuh utama Amerika adalah teroris besar Osama bin Laden. Pernyataan ini memperkeruh hubungan Barat dan Islam. Apalagi dengan Hancur leburnya menara kembar World Trade Centre (WTC) di New York Amerika pada Selasa, 11 September 2001, merupakan tragedy terdahsyat dunia di awal abad ke 21. Osama bin Laden dan jaringan al-Qaedahnya yang tertuduh sebagai pelaku utama kehancuran WTC, kelihatannya membawa dampak yang sangat buruk terhadap dunia Islam. Dikatakan demikian, karena Presiden Amerika George Bush, secara tiba- tiba mengeluarkan statemen bahwa “Islam adalah Teroris”. Dalam hal ini, G. Bush mengumumkan kepada dunia bahwa: Amerika diserang teroris biadab. Teroris itu adalah Osāma bin Laden. Teroris itu adalah Islam. Amerika tidak akan tinggal Diam. Amerika akan membalas. Amerika tidak akan kalah. Amerika sudah terbiasa berperang. Ikut Amerika atau ikut teroris. Tidak ada pilihan ketiga, apalagi pilihan keempat. Siapa yang tidak mau ikut Amerika akan digebuk. Rezim yang tidak mau memusuhi terorisme akan dicap sebagai rezim jahat.
Dua poin penting yang perlu digarisbawahi dari statemen G. Bush tersebut, yakni; “Teroris itu adalah Islam” dan “Amerika akan membalas”. Menurut penulis, statemen poin pertama, belum ada bukti yang akurat. Sedangkan statemen point kedua, buktinya sudah sangat banyak. Oleh karenanya, Fenomena di Amerika sendiri sangat menarik. masyarakat Amerika berbondong-bondong masuk Islam justru setelah peristiwa pemboman World Trade Center pada 11 September 2001 yang dikenal dengan 9/11 yang sangat memburukkan citra Islam itu. Pasca 9/11 adalah era pertumbuhan Islam paling cepat yang tidak pernah ada presedennya dalam sejarah Amerika. Sekitar 7 juta orang Muslim yang kini ada di Amerika dan 20.000 orang Amerika masuk Islam setiap tahun setelah pemboman itu. Pernyataan syahadat masuk Islam terus terjadi di kota-kota Amerika seperti New York, Los Angeles, California, Chicago, Dallas, Texas dan yang lainnya.
Jika melihat kasus 9/11, pendapat dari seorang praktisi media Amerika, Nadia Madjid, yang dikemukakan dalam; Voice of America: melihat persepsi masyarakat Amerika Serikat tentang Islam kurang lebih dibentuk oleh media. Tapi itu bukan berarti para elit politik Amerika juga mampu mendiktekan persepsi media tentang apa yang sedang mereka inginkan. Pemerintahan Bush membangun persepsi tentang musuhnya lewat slogan perang melawan terorisme (war on teror), media Amerika tidak akan bisa terus-menerus terpengaruh oleh penggunaan istilah itu. Dalam pengamatan Nādia, media massa di Amerika cukup independen dalam tugasnya. Selanjutnya Nādia mengatakan bahwa yang membentuk persepsi media Amerika terhadap Islam dan dunia Islam adalah apa yang sedang terjadi di kalangan umat Islam dan dunia Islam sendiri. Misalnya tentang apa yang terjadi di Irak setelah ageresi Amerika di sana.
Pasca tragedi 9/11, Amerika Serikat memanfaatkan media sebagai sarana untuk mewacanakan citra Islam yang identik dengan kekerasan. Maka harus diperangi karena mengancam ketentraman dunia. Terma “Terorisme” dan “Islamofobia” pun semakin ramai diperbincangkan. Hal ini kemudian direspon serius oleh kalangan muslim. Mereka menilai Amerika Serikat dan sekutunya sengaja memunculkan wacana-wacana tersebut untuk kepentingan politiknya. Hubungan antara Islam dan Barat pun memanas. Keduanya semakin berhadap-hadapan sebagai musuh. Sikap ini sebenarnya ditunjukkan kedua belah pihak. Jika umat Islam menyatakan bahwa Barat adalah musuh Islam, sebaliknya orang-orang Barat menyatakan juga bahwa kelompok-kelompok Islam memusuhi Barat. Sikap berlawanan dan berhadap-hadapan diduga kuat menjadi faktor langgengnya konflik yang terjadi antara Islam dan Barat.
Kini, sudah banyak media massa Amerika yang mulai mempertanyakan banyaknya anak-anak Amerika yang terbunuh setelah dikirimkan untuk menjaga stabilitas di sana. Yang juga disorot, mengapa masih terjadi konflik Sunni-Syiah. Dari situ mereka melihat masih adanya tindak kekerasan di antara sesama masyarakat muslim sendiri. Media Amerika juga rutin melihat apa yang terjadi di Afganistan dan beberapa tempat di Indonesia, terutama jika ada konflik-konflik yang terkait dengan perbedaan agama. Maka dari itu, Media dianggap sebagai salah satu intrumen penting dalam pembentukan opini masyarakat Amerika.  
Terkait dengan sejarah hubungan Islam dan Barat, banyak peristiwa sejarah yang masih menjadi memori kelabu dalam memori Barat. Jika peristiwa itu diungkit, dengan mudah kebencian mereka terhadap Islam pun kembali bangkit. Misalnya, istilah Crusades atau Perang Salib (1095-1291 M). Meskipun terjadi beberapa abad yang lalu, istilah Crusades menjadi idiom sensitif yang berpotensi membangkitkan permusuhan antara Islam dan Barat. Meskipun bukan awal dari konflik Islam dan Barat –karena Islam dan Barat juga pernah menyemai konflik pada ekspansi Islam ke Andalusia pada 705-1492 M. Namun, magnet Crusades dinilai masih sangat kuat hingga saat ini sebagaimana konflik yang terus berkelanjutan antara Israel-Palestina. Menariknya, eksploitasi adanya ancaman Islam dinilai efektif bagi para politisi untuk meraih dukungan masyarakat Kristen. Fenomena inilah yang membedakan antara Islam dengan agama atau peradaban lainnya. Serangan pasukan Jepang ke Pearl Harbour dalam Perang Dunia II nyatanya tidak serta merta melahirkan istilah anti-Jepang atau anti-Shinto. Hal ini berbeda dengan tragedi 9/11. Ketika ingat atau diingatkan dengan tragedi tersebut, benih-benih kebencian dan permusuhan terhadap Islam bersemai kembali.
Merupakan hal penting yang perlu dicatat bahwa pasca tragedi 9/11, Amerika Serikat mengalami kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam Politik yang didengungkan oleh gerakan Islam Radikal. Karenanya, itu harus diperangi. Dalam International Bulletin of Missionary Research disebutkan, upaya memerangi gerakan Islam Radikal ini bertujuan untuk memberikan rasa aman bagi warga Amerika Serikat dan sekutunya. Maklum, serangan militer Amerika Serikat dan sekutunya ke beberapa wilayah, mengakibatkan tensi ancaman kaum Islam radikal memuncak. Ancaman tersebut ditujukan kepada militer dan warga sipil Amerika Serikat beserta sekutunya, dimanapun mereka berada.
Itulah fenomena penting yang mempengaruhi hubungan Islam dan Barat. Hubungan antara keduanya bersifat fluktuatif. Pada satu masa, keduanya menjalin kerjasama yang baik di bidang politik, ekonomi dan sosial sebagaimana pada masa Perang Salib. Keduanya ibarat sebagai saudara beda. Ketakutan George W. Bush atas perkembangan Islam Politik ini mengingatkan pada kisah Prof. Dr. Snouck Hourgronje (1857-1936). Oleh beberapa ahli, Hourgronje dikenal sangat piawai dalam menyusun langkah-langkah sistematis yang efektif untuk mendukung pendudukan pasukan Belanda di Indonesia. Bagi Hourgronje, kekuatan Islam Politik memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perjuangan umat Islam dalam melawan penjajah. Maka, menghentikan laju perkembangan Islam Politik –bagaimanapun caranya- adalah sebuah keniscayaan. Snouck Hourgronje berhasil memasung perkembangan Islam Politik dengan cara menaklukan Aceh dan membenturkan posisi kaum ulama dan kelompok aristokrat.
3.               Peranan Islam sebagai Pembentukan Jati Diri Peradaban
Sebagai peradaban, Islam hadir sebagai usaha dan mekanisme, bahkan cara dan anjuran cara menjalani kehidupan yang ada di dunia. Islam dengan seperangkat syariatnya telah mengatur bagaimana agar konsep negara serta pemerintahan dan aktualisasi dari nilai-nilai keagaman mampu dilaksanakan secara bersamaan dan integratif di kehidupan manusia. Jadi, Islam tidak hanya seperangkat ajaran dan dogma saja, melainkan seperangkat aturan dan regulasi untuk memberikan prinsip dan mengatur pola kehidupan manusia, baik hubungannya dengan interaksi sosial sesama manusia maupun hubungannya dengan sanga Pencipta. Usaha untuk menggabungkan antar keduanya dipercaya sebagai nilai istimewaa yang terdapat di dalam ajaran Islam, sehinga manusia bisa memilah-milih mana yang baik dan benar dalam Islam. Karena Islam sebagai peradaban, maka kita harus memahami lebih mendalam apa itu peraadaban, dan bagaimana agar peradaban bisa diciptakan sesuai dengan landasan-landasan Islam.
A.            Konsep Peradaban
Kata peradaban berasal dari kata Adab yang berarti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti; akhlak. Beradab berarti 1) sopan baik budi Bahasa; dan 2) telah maju kehidupan lahir dan batinnya. Peradaban berarti: 1) Kemajuan (kecerdsan kebudayaan) lahir batin; 2) hal yang menyangkut budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa.
Dari pendekatan antropologis, menurut Gulen, peradaban adalah sebuah konep yang memiliki beragam bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan pandangan, konsep, falsafah, dan daya nalar yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan. Peradaban mencakup 1) Sekumpulan aktivitas yang berhubungan dengan kehiudpan manusia, atau 2) pola pemikiran, keyakinan, dan keimuan satu umat, atau 2) setiap karakter khusus tertentu baik materiil maupun non materiil. Peradaban menjadi indikator atau sumber dari berbgai kondisi dan karakter baik materiil maupun non materiil, namun semua kondisi dan karakter itu juga selalu siap merespon kebutuhan individu di tengah masyarakat mulai ia kanak-kanak, generasi muda, hingga orang-orang lanjut usia. Bahkan semua kondisi dan karakter itu uga sanggup merspon setiap periode yang berlangsung dalam kehidupan dan perkembangan manusia.
B.            Hubungan Peradaban dan Jati Diri
Jati diri merupakan sesuatu hal yang efeknya terasa di semua sendi kehidupan masyarakat. Dengan adanya jati diri, maka manusia akan merasakan siapa dirinya sebenarnya. Jati diri juga merupakan sesutau yang nutrisinya bersumber dari memeori, emosi, dan nurani kolektif suatu bangsa atau masyarakat seiring berjalannya waktu, sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Menurut Gulen, peradaban merupakan wujud dari jati diri. Oleh karena itu bagunya peradadan merupakan bentuk kehidupan yang kita adopsi dari para penjajah yang telah merajang jiwa kita selama bertahun-tahun itu. Dan, itu bukanlah pula nlai-nilai yang teah mencerabut kita dari nilai-nilai luhur yang kita miliki.
Itulah sebabnya, adalah keliru jika membatasi barat masa kini sebagai hasil dari kerja keras ilmuan yang memiliki kemampuan tinggi seperti Copernicus Galileo Galilei, Leonardo Da Vinci, Michael Angelo, Dante, Edison, Max Plane dan Einstein. Sebagaimana juga tidak dapat dikatakan bahwa “kebangkitan sains” yang menjadi kemarin, atau “letupan sains dan teknologi” yang terjadi saat ini, semata-mata hanya sebagai hasil segelintir orang seperti yang telah disebutkan tadi. Pelbagai peradaban hebat yang telah memukau banyak kepala menyilaukan sekian pasang mata dengan kekayaan kultural yang dimilikinya, tidak pernah muncul di Roma, Athenaa, Mesir, atau Babylona dalam sekejap mata, tanpa didahului oleh masa panjang “pendahuluan”. Di mana pun juga, setiap peradaban selalu lahir masa pengasuhan yang panjang di dalam dimensi dimensional dan intelektual yang dimiliki individu-individu yang tinggal di dalam peradaban yang bersangkutan serta di dalam lahan subur kesadaran kolektif mereka.
C.            Peranan Agama dalam Pembentukan Jati Diri Peradaban
Menurut Gulen, agama adalah salah satu unsur terpenting dalam hidup manusia, dan merupakan unsur yang tidak bisa diganti dengan unsur yang lain. Menurut Gulen, agama memiliki peran yang sangat vital dalam pembentukan jati diri sebuah peradaban. Bagaimana kemudian agar agama sebagai suatu dimensi religius menjadi dasar dan pondasi utama dalam kemajuan utama bagi kehidupan manusia. Manusia dengan agama, mereka mampu melakukan gerakan kolektif untuk mengarah pada kehidupan yang beridentitas dan mempunyai jati diri. Agama dan peradaban seolah sebagai dua mata pedang yang tidak dapat dipisahkan, karena kehadiran keduanya merupakan unsur dari implementasi nilai-nilai langit dan bumi secara bersamaan. Peradaban yang dilakukan oleh manusia adalah proses dari pencarian jati diri dan sebagai usaha dari manusia untuk menemukan jati diri yang sesuai dengan kehidupan sosialnya.
Dalam prosesnya, agama dan peradaban adalah satu kesatuan yang keduanya berjalan secara beriringan. Agama menjadi aspek yang krusial bagi penentu hukum-hukum dan seperangkat aturan dalam kehidupan manusia. Sedangkan peradaban, adalah wadah yang menadikan agama sebagai tempat untuk dijalankan bagi manusia. Maka dari itu, agama dan peradaban adalah yang terintegrasi satu dengan yang lain. Agama mempunyai peran yang sangat penting, antara lain; Agama memainkan perang penting bagi kebutuhan spiritual manusia, kebutuhan yang sangat bermakna dan sangat penting bagi manusia disbanding kebutuhan materi. Agama bukan hanya penting bagi kehidupan manusia, akan tetapi seluruh lini kehidupan manusia karena di dalamnya terdapat seluruh alasan-alasan bagi kehidupan seluruh alam, pola interaksi bagi kehidupan umat manusia. Selain itu, agama juga mempunyai landasan hukum yang sangat sesuai dengan kehidupan manusia dan tidak dapat terbantahkan. Manusia dan seluruh makhluk yang ada di dunia harus tunduk kepada seperangkat aturan dan hukum yang ada dalam agama, karena semua aturan berandaskan pada Tuhan, Allah SWT sebagai hakikat dari penguasa langit dan bumi sebenarnya.
SUMBER
Fahmy, Zarkasyi Hamid, 2012, “Misykat, Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam”, (Jakarta: Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization, INSIST.
Huntington, Samuel P, 1997, “The Clash of Civilizations and The Remarking of World Order”, New York: Touchstone.
Gulen, Muhammad Fathullah, 2013, “Membangun Peradaban Kita”, (Jakarta, Republika.
Center Dictionary of Language Development and Cultivation, 1998. Big Dictionary of Indonesian Language, Jakarta, Ministry of Culture and Education, Jakarta: Balai Pustaka.
Syihab, Usman, “Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban Islam menurut Fathullah Gulen”, Journal of Tsaqafah, Islamic Civilization Journal, Vol. 10, No. 2, Ponorogo: University of Darussalam.
Kubba, Laith, Muqtedar Khan, et.all about “Islam and Democracy”, September, 2002. Adaption from www.usip.org, April 11, 2017.
Amin, Surahman, Islam di Amerika Serikat; Potret Perkembangan Dakwah Islam Pasca Tragedi 9 September 2001, adaption from http://e-jurnal.stain-sorong.ac.id/index.php/Tasamuh/article/download/9/8, April 11, 2017.
Sudrajat, Ajat “Islam dan Demokrasi, Masalah Adaptasi Rasial”, History Studies at Yogyakarta State University, Yogyakarta: 2014. Pg. 5. Adaption from http://staffnew.uny.ac.id/upload/131862252/penelitian/Islam+dan+Demokrasi+-+Adaptasi+Parsial.pdf, April 11, 2017.
Cohen Carl, “The Nature of Democracy”, adaption from http://carl- cohen.org/docs/DEM%20-%20Chap%201.pdf , April 11, 2017.
Alain Touraine, “Democracy, Its Necessary Conditions, Its Enemies and Its Opportunities”. The Inter Parliamentery Union. Geneva, Switzerland. Adaption from  http://www.ipu.org/PDF/publications/DEMOCRACY_PR_E.pdf, April 11, 2017.


Pengalaman Magang di Kementerian Luar Negeri

1.1 Foto ketika mengawal pelaksanaan acara Focus Group Discussion dengan Kemenlu mengenai Prospek Perdamaian di Afghanistan. Tangerang, ...