The
Emergence of Islamic Political and Democracy Studies as A Solution for Islamic
Civilization in Current Era
Muhammad Akbar Rahmadi
Student of International Relations,
University of Darussalam Gontor, Ponorogo, East Java, Indonesia
Preparing
this essay, the author however, worries about not being able to get some issues
and preparation in order made some information related to Islamic Political
Studies. However, it is changed when the author realized the writer's position
at this time as a student of international relations and stays at islamic
university to provide little argument on Islamic political studies. This paper
wil be described about the solution for implementation of Islamic Political
Studies in order to create a good democracy system in current era. With the
support of the author's identity as a Muslim in Indonesia, adding the reason
for the writer is trying to give some feedback and scientific arguments for
political progress of Islam for Indonesian society. By the large number of
adherents of Islam, then Indonesia is not said as an Islamic state, but not too
a secular state. Islam and the different religions that exist in Indonesia,
united to jointly build Indonesia as sovereign and independent country.
Indonesia does not immediately put and lay religious activity in private space,
but the integration effort between the two dimensions is believed to be the
core strength of Indonesia in facing all challenges in current era.
Keyword:
Politic, Scientific, Democracy, Secular
A.
Introduction
“Human
is a zoon politicon (political cretaures), sometimes the friend becomes
an enemy, and sometimes an enemy become a friend”
-unknown
Hingga
hari ini, politik menjadi salah satu aspek yang paling penting dalam kehidupan
manusia. Dalam hal ini, penulis mengambil studi kasus dari dua dimensi yang
berbeda, yaitu Islam dan Barat, yang keduanya merupakan dua kebudayaan yang
berbeda dalam ranah teologis akan tetapi bersama-sama mempunyai tujuan yang
sama dalam mempromosikan ilmu politik sebagai prioritas utama dalam ranah
pemerintahan negara yang mempunyai otoritas tertinggi dalam mengurus negara dan
masyarakat sosial. Umat manusia sehari-harinya diwarnai oleh dinamika kegiatan
politik sebagai poros utama dalam mendominasi satu sama lain, demi berusaha
mendapatkan kepentingan dan tujuan yang diimpikan oleh manusia itu sendiri.
Tantangan yang kemudian timbul di sini adalah, bagaimana agar seorang Muslim
mampu mengahadapi tantangan zaman yang erat kaitannya dengan globalisasi dan
dikawal oleh perkembangan sekularisme Barat. Situasi politik global juga
menjadi salah satu faktor bagi seorang Muslim untuk mampu mempelajari politik
sebagai cabang keilmuan dari nilai-nilai kemanusiaan dan kekuasaan yang
integral dengan kehidupannya.
Politik
adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Setiap hari
manusia akan terus berpikir bagaimana agar bisa mencapai kepentingannya, baik
dengan sesamanya maupun dengan musuhnya. Dalam rangka mewujudkan identitas yang
sama dan integrasi kuat antara manusia dan manusia yang lainnya, maka bentuk
perpolitikan yang hingga hari ini berkembang adalah pola yang diusahakan
manusia agar mendapatkan pengakuan diantara komunitas yang ada. Dalam hal
pencapaian kekuasaan, maka bentuk dari integrasi dan korelasi politik dan
manusia adalah bagaimana agar manusia itu dapat mencapai kepentingan dan mampu
mengakomodir kepentingannya di masyarakat sosial. Masyarakat sosial yang
terdiri dari berbagai macam manusia saja merupakan bentuk kompetisi satu sama
lain, hingga usaha untuk mendominasi satu sama lain adalah usaha yang yang
dimaksimalkan untuk mencapai kepentingan manusia, melalui kesamaan nilai-nilai
dan tujuan yang sama.
Fenomena
yang terjadi saat ini adalah, kehidupan kontemporer yang dikawal oleh kemajuan
dan perkembangan zaman, diikuti dengan naungan globalisasi dan arus kemajuan
teknologi dan informasi. Selain itu, perilaku dunia internasional yang
didominasi oleh nilai-nilai barat juga berlaku pada semua lini kehidupan
manusia, termasuk di dalamnya kehidupan sosio-ekonomi, serta pemikrian yang
didominasi oleh nilai-nilai dan pemahaman kontemporer. Bentuk pemahaman
kontemporer saat ini bisa dilihat melalui perang pemikiran
atau ghazwul fikr, berupa
empirisisme, rasionalisme, dualisme dan dikotomi, sekularisme, desakralisasi,
pragmatisme dan berbagai macam pemahaman lainnya, yang semuanya didominasi oleh
paham-paham dari peradaban barat. Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan
tersendiri bagi kalangan intelektual muslim, khususnya di Indonesia dalam
mengoptimalkan dan mengintegrasikan nilai-nilai Islam dan politik, sosial dan
ekonomi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam
kehidupan seorang Muslim, maka salah satu hal yang dapat diterapkan dalam kehidupannya
adalah memperdalam dengan jelas dan singkat mengenai ilmu politik. Ilmu politik
dalam Islam merupakan bidang kajian yang harus dipelajari, karena di dalamnya
membahas tata cara pengaturan agama dan control sosial di ruang publik. Islam
dan ilmu politik adalah hal yang integral dan tidak terpisahkan, bahkan tanpa
ilmu politik sekalipun, perjalanan seorang Muslim akan terhambat karena kurangnya
pemahaman yang mendalam akan ilmu politik itu sendiri. Bagaimana kemudian agar
Politik dan agama bisa disatukan dan menadi suatu kesatuan yag mampu mengenlola
tatanan kehidupan masyarakat sosuak yang beragam. Pemahaman yang mendalam ilmu
politik, baik melalui aktualisasi di lapangan dan dalam ranah akademik, maka
seorang Muslim.
B.
Islam
sebagai Agama dan Negara
Berbicara
mengenai Islam, kita tentunya tidak hanya berbicara mengenai agama saja,
melainkan seluruh aspek yang ada di dalam Islam adalah bagian dari Agama yang
harus dipenuhi oleh manusia sebagai wujud dari penghambaannya kepada Tuhannya,
juga hubungannya dengan manusia sebagai bagian dari interaksi sosial sebagai
dimensi dunia yang harus dijalankan oleh manusia. Sebagai agama, Islam diyakini
dan dipahami merupakan seperangkat ketentuan dan aturan (‘aqidah wa
al-syariah) yang bersumber dari Allah SWT. Agama, dalam keseluruhan aspek ajaran
yang ada di dalamnya, menjadi panduan utama bagi manusia dalam kehiudpannya.
Islam juga panduan bagi kehidupan manusia, berarti ia juga harus menjadi dasar
utama bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara lain meliputi
perilaku politik, ekonomi, sosial kebudayaan dan lain sebagainya.
Sebagai
kumpulan ajaran Allah SWT, yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan
disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umat manusia sekalian, Islam disampaikan
melalui kitab suci dan telah terkodifikasikan dalam bentuk Al-Qur’an. Al-Qur’an
inilah yang kemudian menjadi dasar bagi seluruh lini kehidupan manusia. Tetapi,
karena ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an memerlukan penjelasan, maka Nabi Muhammad
SAW hadir sebagai penyampai kebenaran yang posisinya sebagai seorang yang
pandai, cerdas dan menyampaikan kebenaran A-Qur’an melalui segala tindakan, ucapan,
dan ajaran Nabi Muhammad kepada umat Muslim. Ia juga berperan sebagai orang
yang menjelaskan Al-Qur’an (Mubayyin al-Qur’an). Nabi Muhammadlah yang kemudian
memberikan penjelaskan secara operasional terhadap ajaran-ajaran yang terdapat
di dalam al-Qur‟an. Karena itulah kemudian, keduanya --al-Qur’an dan Sunnah--
menjadi rujukan bagi perilaku umat Islam.
Karena
Islam sebagai kumpulan ajaran yang berasal dari Allah SWT, dan kemudian
dilembagakan melalui Nabi Muhammad SAW, dapat dikatakan bahwa yang bisa disebut
memiliki kemutlakan untuk mengatur manusia di sini adalah Allah. Dalam
pandangan ini Allahlah yang memiliki kedaulatan atas manusia. Allahlah
(al-Khaliq) yang menentukan segala ketentuan dan aturan untuk sekalian
ciptaannya (al-Makhluq), termasuk di dalamnya adalah manusia. Dengan demikian
manusia harus tunduk dan patuh kepada semua ketentuan dan aturan Allah sebagai
Tuhan semesta Alam. Dalam pada itu ketentuan dan aturan yang bersumber dari
Allah dipandang memiliki nilai kemutlakan (ultimate values). Dengan demikian
penilaian atas sesuatu yang dilakukan oleh Islam terhadap perilaku manusia
secara pasti dan mutlak telah ditentukan apakah itu termasuk dalam kategori
benar atau salah. Ketentuan hukum yang demikian adalah mutlak adanya dan tidak
bisa dirubah dan akan berlaku sepanjang kehidupan manusia.
Islam
merupakan agama yang komprehensif dan universal. Di dalamnya, terdapat segala
macam ajaran dan dogma ketuhanan yang diberikan kepada manusia untuk
menjalankan kehidupannya agar dapat hidup sejahtera dan berada dalam suasana
yang damai dan rukun, menjunjung tinggi toleransi serta memprioritaskan
hubungan dengan Allah sebagai Tuhan Semesta Alam. Inti kehidupan manusia adalah
tidak hanya sejahtera di dunia, melainkan mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat
pula. Oleh karena itu, manusia harus hidup berdampingan dan sejahtera dalam
kehidupan sosial dan spiritual, serta dalam menjalankan segala norma dan tata
aturan dalam kehidupan kemasyarakatan.
Salah
satu wacana yang kemudian muncul dan menjadi persoalan yang baru dalam Islam
adalah konsepsi mengenai kehidupan ketatanegaraan yang mengatur kehidupan
manusia dalam suatu wadah yaitu negara, yang berlandaskan hukum dan
undang-undang positif. Dalam hal ini, polemik mengenai sekularisme; atau pola
kehidupan yang mempersepsikan antara pemisahan kehidupan bernegara dan
beragama, telah menjangkiti umat Muslim dan menggerogotinya hingga sangat
dalam, hingga aktualisasi dari hukum syari’at yang menjadi fokus utama seorang
muslim sungguh sangat sulit untuk dilakukan.
Maka,
berbagai macam usaha dilakukan oleh para akademisi, peneliti, bahkan praktisi,
baik dia cendekiawan muslim, ‘alim ulama dan para politisi Muslim yang terus
menerus mengkampanyekan dan mensosialisasikan akan kehidupan warga negara yang
berlandaskan Islam. Islam sebagai konsep
yang sudah mengatur mengenai kehidupan warga negara dan religiusitas dalam satu
paket secara bersamaan. Berbagai ijtihad ditempuh, baik itu melalui karya
ilmiah berupa tulisan, seminar, dan bahkan tindakan advokasi langsung kepada
pemerintahan. Akan tetapi, kendala besar dalam kemudian muncul dan menjadi
problematika terbaru dalam pencapaian negara Islam adalah pemahaman yang sempit
mengenai agama dan segala instrumennya terhadap negara menjadi persoalan baru
di tubuh para praktisi dan akademisi, hingga tidak jarang telaah dan kajian
lebih lanjut mengenai negara Islam hanya mengalami masa stagnasi di pertengahan
proses aktualisasi.
Oleh
karena itu, jalan keluar yang kemudian diambil, apalagi menurut penulis sendiri
adalah pemahaman yang dasar dan lebih mengenai hakikat dan konsep yang
sebenarnya mengenai ketatanegaraan dalam kehidupan manusia, apalagi bagi umat
Islam. Islam sebagai agama tidak hanya dipandang sebagai dogma ketuhanan yang
hanya mengatur kehidupan umatnya di masjid dan tempat peribadatan saja,
melainkan juga sebagai ajaran yang mengatur kehidupan sosial manusia, apalagi
tentang nilai-nilai dan ajaran yang bermakna dalam kehidupan berbangsa,
berbangsa dan bermasyarakat. Allah SWT berfirman, “maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (Al-Maidah:
48).
Dalam perkembangan zaman yang terjadi saat ini, termasuk
di dalamnya perkembangan nilai globalisasi, fenomena sistem demokrasi yang
hingga hari ini diterapkan oleh mayoritas negara-negara di dunia, menjadi kasus
yang sering dibahas dan menjadi perhatian bagi seluruh akademisi, para pakar
politik, ilmuwan dan masyarakat secara luas. Di sisi lain, selainn bidang
keilmuan yang diajarkan di dalam Islam, maka integrase agama dan politik
pemerintahan adalah yang penting untuk dibahas, karena kduanya mupkana satu
ksatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam agama
Islam. Bagaimana kemudian agar demokrasi itu mampu diterima
semua kalangan sebagai suatu sistem pemerintahan yang sesuai dengan masyarakat
yang ada di stau wilayah, apalagi dalam hal kinerja pemerintahan. Orang
berbondong-bondong kemudian mengkaji dan mempelajari mengenai sistem demokrasi
saat ini. Adanya faham tentang “demokrasi” dipahami sebagian kalangan sebagai
model pemerintahan yang cocok diterapkan di semua negara yang ada di dunia.
Paham demokrasi ini lah yang kemudian menjadikan sistem pemerintahan di
mayoritas negara di dunia melegitimasi sistem ini, dan bahkan di Indonesia
sekalipun, Islam, demokrasi dan HAM dapat berjalan secara bersamaan”.
Konstelasi
dan dinamika politik global yang saat ini berkembang di dunia internasional
tidak lepas dari pemikiran kaum barat. Mereka dengan leluasanya menyebarkan
paham-paham liberalisme dan imperialisme di seluruh belahan dunia yang lain,
tak terkecuali Amerika Serikat, yang menjadikan HAM dan Demokrasi sebagai alat
utama dalam menyampaikan segala propagandanya. Selain itu, wacana keilmuan yang
berkembang di dunia saat ini, termasuk di dalamnya ilmu Hubungan Internasional,
menjadikan sebagian orang-orang barat semakin percaya diri akan eksistensi dan
konsistensi diri mereka dalam segala pengambilan kebijakan dan keputusan dalam
setiap dinamika politik politik luar negeri yang terjadi. Untuk itu, ilmu
hubungan internasional yang lahir di awal abad ke 19 menjadikannya sebagai
salah satu studi yang fokus terhadap penentuan-penentuan kebijakan politik
(Decision Making), apalagi dunia yang saat itu mengalami suatu konflik luar
biasa, yang berwujudkan dalam dua perang besar yang sangat mengancam umat
manusia saat itu, yaitu perang Dunia I di tahun 1914, dan Perang Dunia II di
tahun 1945. Oleh karena itu, sebagian besar para pelajar, penstudi, tak
terkecuali sarjana dan para doktor dan profesor beranggapan bahwa ilmu hubungan
internasional merupakan ilmu yang sangat belia dan masih sangat baru, asumsi
dasar ini dapat dilihat dari berbagai dampak nyata dalam setiap kejadian
politik yang ada di dunia internasional. Para ahli politik, negara dan strategi
perang di sekitar tahun 1945 memulai beberapa kajian yang fokus untuk mendalami
studi-studi yang berhubungan dengan hubungan internasional pada masa itu.
Krisis misil Kuba pada tahun pada tahun 1963 menydarkan sebgian orang bahwa
sangat berbahayanya perang nuklir. Gerakan anti penjajahan di Asia dan Afrika
pada tahun 1950 dan 1960 serta gerakan pemisahan diri di bekas daerah Uni
Soviet dan di bekas daeah Yugoslavia pada akhir perang dingin menjadikan betapa
pentingnya menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan politik yang harus terus
menerus dijunjung tinggi. Selain itu inflasi Global pada tahun 1970 dan awal
1980 yang disebabkan oleh peningkatan yang sangat dramatis oleh negara-negara
pengekspor minyak (OPEC) telah menimbulkan ancaman terbaru bagi kesejahteraan
masyarakat internasional dimanapun ia berada di dunia. Perang Gurun (1991-1991)
dan Konflik Balkan (1992-1995) merupakan petunjuk betapa pentingnya keamanan
internasional dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Bahkan sekarang pun,
ketegangan yang dimunculkan oleh Korea Utara dan beberapa negara pendukung
nuklir di dunia menimbulkan polemik tersendiri.
Ini
membuktikan bahwa dalam setiap gejolak politik yang terjadi dalam dunia
internasional mengalami perkembangn yang sangat signifikan dan naik turun,
seiring dengan berkembangnya zaman dan berubahnya fokus dan dinamika politik
yang ada di setiap era yang berbeda. Dalam studi hubungan internasional
misalnya, kelas-kelas perkuliahan mulai dibuka dan pelajar studi hubungan
internasional mulai meminati ilmu tersebut pada tahun 40-an. Presiden Amerika
Serikat yang ke-28 Woodrow Wilson merupakan salah satu tokoh yang mengajarkan
keilmuan hubungan internasina di Universitas Wales pada tahun 1943. Salah satu
contohnya adalah Universitas Chichago pada tahun 1943, yang mulai di buka oleh
Hans J Morghentau, beliau juga menjabat sebagai Direktur dari Pusat Studi
Politik Luar Negeri Amerika Serikat di Universitas yang sama. Di tempat lain
ada di Universitas Chichago, Amerika Serikat, uga mengajarkan bidang studi yang
sama. Beberapa pelajar mulai mengembangkan wacana keilmuan mereka dengan
mempelajari ilmu politik, khususnya dalam bidang luar negeri dan dibimbing
langsung oleh pakar pakar politik dan hubungan internasional pada
bidangnya.
1.
Konsep
Negara dalam Islam
Pada
hakekatnya, pembahasan mengenai korelasi antara negara dan Islam sudah dimulai
sejak dulu, bahkan sejak dimulainya perumusan perundang-undangan dan peraturan
kemasyarakatan yang dituangkan oleh nabi dalam bentuk Piagam Madinah. Prof.
Suyuthi Pulungan dalam Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah,
ditinjau dalam Pandangan Al-Qur’an, berpendapat bahwa bukti dari adanya piagam
Madinah ini mendahului ayat-ayat kemasyarakatan yang belum sempurna, dan ini
merupakan salah satu langkah politik atau siyasat Rasul, untuk mewujudkan
kemasalahatan bagi masyarakat luas.
Apabila
dikaji mengenai konsep negara Islam ketika zaman kerasulan, maka Rasulullah
sebagai salah satu pemimpin agama, di sisi lain ia juga sebagai pemimpin
negara. A. Hasjmy dalam bukunya Dimana letaknya Negara Islam telah menerangkan
dengan begitu konkrit mengenai konsep dan tata aturan negara yang berbentuk
Daulah Islamiyah. Menurutnya, awal pembentukan Daulah Islamiyah zaman Rasul SAW
dimulai dengan pembentukan sebuah pasukan yang terdiri dari pemimpin dan
perwira yang berasal dari suku ‘Aus dan Khazraj. Pada prosesi ini, dimulai
dengan kedatangan Rasul ke Yastrib dan membentuk suatu kekuatan massa di daerah
tersebut. Ini merupakan kekuatan fisik pertama di luar Mekkah.
Setelah
pembentukan kekuatan politik dan pembentukan perwira yang terdiri dari 12 orang
tadi, maka Rasul pun hijrah ke Madinah bersama sahabatnya yaitu Abu Bakar.
Hijrahnya Rasul ke Yastrib, berarti berkumpulnya panglima tertinggi dengan para
perwira dan pasukannya, dan saat itu pulalah dinyatakan berdirinya Daulah
Islamiyah (Negara Islam) yang pada waktu itu masih memakai istilah “umat
Islam”. Peristiwa HIjrahnya Rasul itu kemudian ditetapkan sebagai awal mula
lahirnya Tahun Hjriyah. Selain perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah, lahir
pulalah unsur kekuatan (Shultah) yangberpusat pada Nabi Muhammad sebagai
pemimpinnya.
Selain
itu, pendapat yang sangat baik juga dikeluarkan oleh Fazlurrahman. Dr. Hasbi
Amiruddin dalam “Konsep Negara Islam menurut Fadzlurrahman”, ia menyatakan
bahwa Fazlurrahman menganggap bahwa Islam memerintahkan agar
persoalan-persoalan kaum Muslimin ditanggulangi melalui Syura’ atau konsultasi
timbal balik. Ia juga berpendapat bahwa dengan penerapan Syura maka menjadi
instrumen dasar dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, pendapatnya yang
membangun yaitu mengenai kebebasan. Menurutnya, kebebasan dalam mengemukakan
pendapat dan kritik yang konstruktif kepada pemerintahan merupakan salah satu
tugas keagamaan yang harus dicapai.
Ali
Maschan Moesa dalam NU, Agama dan Demokrasi menyatakan bahwa Al-Maududi dan
para pakar politik Syi’ah merupakan salah satu penggagas konsep integrasi
antara agama dan negara yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Model
hubungan ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan lembaga politik
sekaligus lembaga agama. Konsep ini senada dengan pemahaman ilmuwan dan
cendekiawan modern dengan paham teokrasi. Menurut Al-Maududi, kekuasaan dalam
Islam terbagi menjadi dua bagian, yaitu kepala negara dan lembaga legislatif.
Dalam hal ini maka kepala negara mempunyai peranan yang sangat dominan dalam
penentuan kebijakan dan pemberian keputusan kepada masyarakat, karena ia
merupakan pemimpin yang loyal terhadap hukum Tuhan dan memiliki hak veto dalam
penentun keputusan yang telah disepakati oleh Dewan Penasehat. Oleh karena itu,
hubungan integralistik ini tidak dapat dipisahkan begitu saja.
Berbagai
macam pendapat mengenai bagaimana arti dan konsepsi negara dalam pandangan
Islam. Selain Al-Maududi, ada juga pendapat dari Al-Ghozali dan Al-Mawardhy.
Menurut Al-Mawardhy, negara dan agama memiliki hubungan yang kuat dan sangat
simbiotik, sebab Imam adalah sebagai instrumen penerus misi kenabian dalam
rangka memelihara agama dan mengatur dunia. Dalam hal ini, agama dianggap
sebagai instrumen untuk mengatur dan pengontrol dunia. Sedangkan menurut
Al-Ghazali, ia mengemukakan bahwa politik mendapat posisi satu tingkat dibawah
agama. Gambaran dasar dari ungkapan Alghozali ini yaitu pemenuhan segala
kebutuhan masyarakat berupa industri, profesi dan kepala negara yang mempunyai
legitimasi keagamaan. Bentuk dari industri itu berupa pertanian, pemintalan,
yang didukung oleh pembangunan politik. Sedangkan profesi politik yang
dibutuhkan adalah yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat, seperti
sub-profesi pengukuran tanah, sub-profesi ketentaraan, sub-profesi kehakiman,
dan sub-profesi ilmu hukum. Dari kedua argumen yang luar biasa ini dibungkus
dan dirangkum sedemikan rupa dalam karya monumental mereka, yaitu dalam
¬al-Ahkam As-Shulthoniyyah karya Al-Mawardhy dan Ihya ‘Ulumuddien karya
Al-Ghozali.
Dari
berbagai macam pengertian dan pemahaman terkait konsepsi negara dalam
perspektif Islam diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa di samping Islam
sebagai agama, Islam juga sebagai dasar yang mengatur tata kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Islam yang hadir di tengah kehidupan manusia tidak
mungkin hanya sebagai salah satu doktrin dan dogma yang turun dari langit saja,
melainkan juga sebagai tuntutan dan seperangakt aturan yang dibuat khusus untuk
mengatur seluruh kehidupan manusia, baik kehidupan dalam sosial, politik,
ekonomi dan budaya yang beragam.
Dalam
hal peribadan kepada Tuhan, lslam lebih mengutamakan wujud penghambaan yang
diaktualisasikan melalui ibadah dan ajaran yang berpacu pada nilai-nilai
keagamaan yang sangat berhubungan dengan kehidupan manusia itu sendiri.
Sedangkan Barat, lebih mengedepankan manusia dalam hal implementasi nilai-nilai
kehidupan sosial tanpa ada integrase kehidupan religiusitas di dalamnya. Secra
kajian ilmiah dan aspek religiusitas, Islam dan Barat memang merupakan hal yang
berbeda. Meskipun ada beberapa yang sama, termasuk nilai-nilai global seperti
kemanusiaan, nilai-nilai demokrasi dan kebebasan individu. Dalam Islam, semua hal diselenggarakan dalam
kehidupan ada aturan mainnya, yang diatur oleh Tuhan Sang Pencipta. Sedangkan
dalam peradaban Barat, semuanya berjalan dengan sendirinya dan tanpa ada aturan
dari sang Pencipta.
2.
Demokrasi
dan Islam
Salah
satu cabang dari ilmu politik, khusus di era kini adalah implementasi dari
nilai-nilai dari sistem Demokrasi. Demokrasi diyakini sebagai salah satu sistem
pemerintahan modern yang ccok diterapkan di sebagian negara mayoritas di dunia.
Sistem demokrasi juga diyakini sebagai sistem yang menerapkan kebebasan bagi
setiap individu. Sistem pemerintahan modern inila yang diterapkan di berbagai
negara di dunia karena lebih terbuka dan menerima kepentingan segala golongan. Istilah
demokrasi berasal dari penggalan kata Yunani "demos" yang berarti
"rakyat" dan kata "kratos" atau "cratein" yang
berarti "pemerintahan," sehingga kata "demokrasi" berarti
suatu "pemerintahan oleh rakyat". Kata "pemerintahan oleh
rakyat" memiliki konotasi; (1) suatu pemerintahan yang "dipilih"
oleh rakyat" dan (2) suatu pemerintahan "oleh rakyat biasa"
(bukan oleh kaum bangsawan), bahkan (3) suatu pemerintahan oleh rakyat kecil
dan miskin (government by the poor) atau yang sering distilahkan dengan "wong
cilik'. Namun demikian, yang penting bagi suatu demokrasi bukan hanya siapa
yang memilih pemimpim, tetapi juga cara dia memimpin. Sebab jika cara memimpin
negara tidak benar, baik karena rendahnya kualitas dan komitmen moral dari sang
pemimpin itu sendiri, maupun karena budaya masyarakat setempat yang tidak kondusif,
maka demokrasi hanya berarti pemolesan dari tirani oleh kaum bangsawan menjadi
tirani oleh masyarakat bawah.
Sebenarnya,
yang dimaksud dengan demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam suatu
negara di mana semua warga negara secara memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan
kekuasaan yang baik dalam menjalankan kehidupannya maupun dalam berpartisipasi terhadap
kekuasaan negara, di mana rakyat berhak untuk ikut serta dalam menjalankan
negara atau mengawasi jalannya kekuasaan negara, baik secara langsung misalnya
melalui ruang-ruang publik (public sphere) maupun melalui wakil-wakilnya yang
telah dipilih secara adil dan jujur dengan pemerintahan yang dijalankan
sematamata untuk kepentingan rakyat, sehingga sistem pemerintahan dalam negara
tersebut berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, untuk kepentingan rakyat,
from the people, by the people, to the people). Karena itu, sistem pemerintahan
demokrasi dipakai sebagai lawan dari sistem pemerintahan tirani, otokrasi,
despotisme, totaliterisme, aristokrasi, oligarki, dan teokrasi.
Dalam
kaitan ini, demokrasi adalah suatu sistem di mana warga negara bebas mengambil
keputusan melalui kekuasaan mayoritas. Dari pendefinisian yang demikian bisa
dilihat adanya implikasi antara lain terhadap: (a) cara pengangkatan kepala
negara atau semua jajaran pejabat lembaga pemerintahan, (b) cara pengambilan
keputusan tentang suatu perundang-undangan atau peraturan pemerintah.
Adanya
penekanan yang demikian terfokus kepada warga negara atau rakyat, maka dalam
pemerintahan yang demokrasi selalu memberikan perhatian kepada warga negaranya.
Implikasi dari cara pandang yang demikian adalah pada diletakkannya pilar-pilar
demokrasi yang selalu mengutamakan kepentingan warga negara. Pilar-pilar
demokrasi itu antara lain: (a) kedaulatan rakyat, (b) Pemerintahan berdasarkan
persetujuan dari yang diperintah (rakyat), (c) kekuasaan mayoritas, (d) hak-hak
minoritas, (e) jaminan hak-hak asasi manusia, (f) pemilihan yang bebas dan
jujur, (g) persamaan di depan hukum, (h) proses hukum yang wajar, (i)
pembatasan pemerintah secara konstitusional, (j) pluralisme sosial, ekonomi dan
politik, dan (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat6.
Demokrasi, oleh karena itu, bergantung kepada pembangunan suatu budaya warga
negara yang demokratis. Budaya dalam pengertian ini adalah perilaku, praktek
dan norma-norma yang menjelaskan kemampuan warga negara untuk memerintah diri
sendiri. Pemerintah yang merupakan representasi warga negara dengana sendirinya
juga harus memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengejar
kepentingan dan menjalankan hak-hak mereka.
Dalam
sistem demokrasi, rakyat sebagai pemegang wewenang mempunyai leluasa untuk
menentukan arah pemerintahan yang berkembanga di suatu negara. Mereka membuat
keputusan sendiri tentang pekerjaan yang akan mereka lakukan, jenis pekerjaan
yang akan dilakukan, partai politik mana yang akan diikutinya atau bahkan tidak
akan terlibat dalam partai politik, dan seterusnya. Pada intinya adalah adanya
“kebebasan”. Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi
keduanya tidak sama. Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan
prinsip tentang kebebasan, tetapi juga menyangkut seperangkat praktek dan
prosedur yang terbentuk melalui sejarah yang panjang. Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa demokrasi adalah “pelembagaan” dari kebebasan dalam kehidupan benegara.
Oleh karena itu, wajar kalau dalam perkembangan wacana demokrasi selalu terkait
dengan persoalan kebebasan, misalnya saja hak asasi manusia, persamaan di depan
hukum, dan toleransi. Karena di dalam contoh-contoh tersebut terkandung makna
kebebasan warga negara sebagai pusat tertinggi dalam sistem pemerintahan
demokrasi.
Dalam
sistem demokrasi, semua yang ada dalam sistem regulasi dan sistem pemerintahan
berada pada kedaulatan rakyat. Rakyat yang menjadi patokan, bukan berarti
rakyat yang semena-mena memberikan instruksi kepada pemerintah dan langsung
dijalankan begitu saja, melainkan rakyat itu hadir sebagai kekuatan utama sebagai
ruh yang mengakar kuat di dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Rakyat yang ada
dalam sistem demokrasi, terutama yang berada pada posisi masyarakat sipil,
mempunyai wewenang besar dalam memberikan masukan dan opsi yang kontributif
bagi negara, yang diwakilkan oleh para wakil rakyat yang duduk di pemerintahan.
Pemerintahan yang ada di pusat suatu negara menghasilkan kebijakan dan berbagai
peraturan dan regulasi, yang kemudian dapat disalurkan oleh para wakil rakyat
yang duduk di kursi parlemen. Parlemen inilah yang terdiri dari berbagai macam
kelompok kepentingan dan organisasi politik baik berupa partai dan lainnya,
yang setiap 5 tahun sekali mengadakan pemilihan umum, baik di ranah
kabupaten/daerah, atau tingkat nasional. Pemilihan gubernur dan presiden inilah
yang kemudian memegang amanah dan tanggung jawab selama lima tahun, untuk
membangun negara ke arah pemerintahan yang lebih baik.
Dari
sedikit gambaran di atas, fokus dan ruang lingkup demokrasi adalah pada
persoalan kemanusiaan, dari manusia kepada manusia. Dan lebih fokus lagi adalah
persoalan kekinian, duniawi. Dalam demokrasi tidak ada intervensi yang berasal
dari pihak luar, di luar diri manusia, yaitu Allah SWT. Dengan demikian, dalam
demokrasi tidak ada nilai-nilai yang bercorak ilahiah. Tidak ada nilai-nilai
yang dipandang transendental yang abadi. Justifikasi benar dan salah yang
dihasilkan dari demokrasi bercorak relatif, sangat bergantung kepada hasil
kesepakatan bersama suatu masyarakat. Keputusan dan aturan yang dilembagakan
sebagai hasil demokrasi tidak memiliki kemutlakan dan nilai transenden
(spiritual). Produk aturan demokrasi semata bersifat temporal dan kekinian
(duniawiah) semata.
C.
Islam
sebagai Kajian Integratif dan Jalan Kehidupan
Dunia
semakin mengglobal, dengan ditandai masuknya globalisasi di awal abad 20.
Globalisasi juga tidak hanya didominasi oleh perkembangan transformasi tekologi
dan informasi saja, melainkan tingkat pengaruh kekuasaan suatu negara dari
suatu negara ke negara lain mempengaruhi kegiatan politik global yang diwarnai
oleh berbagai macam kepentingan dan tujuan yang berbeda, termausk kajian
keislaman sebagai bagian dari usaha kaum Muslim dipromosikan di dunia. Dalam
hal ini, Islam dimana-mana menjadi pembahasan yang menarik bagi akademisi dan
kaum intelektual di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2008, Japan
International Institue of International Affairs mengadakan Symposium di Tokyo,
tentang Islam in Asia, Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam. Untuk
mengetahui masa depan gerakan Islam, pembahasan ini dibagi menjadi beberapa
sesi antara lain pembahasan mengenai Politik Islam dan kaitannya dengan
Demokrasi, sekularisme dan perundang-undangan. Kedua, tinjauan peran dan
partisipasi organisasi kelompok Islam, yang menitik beratkan pada studi kasus
organisasi dan gerkan keislaman di beberapa negara di Dunia, termasuk
Singapura, Mesir dan Indonesia. Selain itu, pembahasan mengenai tingkat
moderasi Muslim termasuk meninjau kelompok radikal dan ekstrim juga menjadi
pembahasan bagi symposium ini.
Intinya,
dalam simposium ini membahas tiga hal yang terdiri dari Demokrasi dan
Sekularisme, Gerakan Politik Islam, serta moderasi muslim dan Gerakan
radikalisme. Salah satu pembahasan yang paling fundamental dari symposium ini
yaitu peninjauan ulang dari gerakan politik Islam dan hubungn konseptual dengan
demokrasi, sekularisme dan Islam. Bagi Dr. Syed Ali Tawfik Al-Attas, istilah
demokrasi dan juga sekularisme yang kini didengungkan sebagai dasar kehidupan
politik modern, menjadi membingungkan ketika mulai didefinsikan. Namun, jika
dikaji secara mendalam, akan sampai pada pembahasan pada kebebasan dan
keadilan. Namun, ini tidak berarti Politik Islam selalu sama dena nilai Barat.
Adanya persamaan mendasar tentang demokrasi dan prinsip Shura bagi Islam memang
tidak data dipungkiri. Itulah sebabanya, Tasir Yakis, Ketua Komisi Uni eropa
pada parelemen Turki, memandang bahwa hanya sekedar adanya prinsip Shura kita
tidak dapat menyimpulkan bahwa Islam sesuai dengan Demokrasi, sebab dalam
demokrasi masih terdapat makna kebebasan, kejujuran dan keterbukaan dalam
pemilihan umum. Dr. Azzam Attamimi, Direktur Lembaga London-Based Institue of
Islamic Political Thought (IIPT), London, dan Dr. Sohail Mahmud, Dekan Fakultas
Politik dan Hubungan Internasional di International Islamic University of
Islamabad, Pakistan, sependapat dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam.
Bahkan menurut Tamimi, Barat telah memodifikasi sistem Shura dalam Islam
menjadi sitem demokrasi. Hanya saja, jika Tauqfik Al-Attas apabila membahas
teori Demokrasi Barat, selalu saja bermasalah karena di sebagian tubuh Umat
Islam ada yang menerima dan ada yang tidak dengan konsep demokrasi ini.
Berbeda
dengan pendapat sebelumnya, Yakis memandang bahwa secara teoritis Demokrasi
dapat dilaksanakan di sebagian negara Islam tanpa merusak ajaran agama. Hanya
saja, ada beberapa negara Islam yang pelaksanaan demokrasinya kurang baik belum
bisa menjadi conth bagi negara lain. Oleh karena tidak adanya Demokrasi tidak
bisa selalu dikaitkan dengan Negara Islam. Sedangkan merujuk pada pemahaman
sekulaarisme, maka untuk menerapkan sistem demokrasi yang mapan, maka suatu
negara harus menjadi sekuler sebab demokrasi hanya bisa diterapkan di negara
sekuler. Persoalannya, sekularisme sebagai konsep dikatakan sebagai konep yang
bermasalah. Tidak seperti demokrasi, konsep seperti sekularisme datang
bersamaan dengan istilah-istilah lain seperti modernitas, westernisasi, dan
kolonialisme.
Sekalipun
ada pemilikan mutlak dan kedaulatan yang berbeda antara Islam dan demokrasi,
tidak berarti dengan sendirinya Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Banyak
persoalan yang harus diurai lebih jauh mengenai kompatibilitas dan tidak
kompatibelnya Islam dengan demokrasi. Tetapi, penjajaran Islam dengan demokrasi
secara serta merta adalah merupakan cara pandang yang salah dan jelas keliru.
Karena Islam merupakan seperangkat ketentuan dan aturan yang terkait dengan
otoritas Allah Swt., secara mutlak. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, orang yang
menyatakan bahwa antara Islam dan demokrasi terdapat segi-segi persamaan, itu
hanyalah berarti menerangkan sebagian dari hakekatnya; karena hakekat yang
sempurna ialah, antara Islam dan demokrasi ada perbedaan. Bahkan menurutnya
yang lebih tepat ialah ada hal-hal yang bersesuaian, tetapi banyak hal-hal yang
tidak bersesuaian, sementara demokrasi bersandar pada otoritas manusia, dan
lebih menyangkut masalah prosedural. Meskipun diakui, dalam perkembangannya
pemahaman terhadap demokrasi menjadi semakin kompleks, seperti misalnya hak-hak
minoritas, jaminan hak-hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur,
persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara
konstitusional, menghargai pluralisme, toleransi, kerjasama dan mufakat
bersama.
D.
Tantangan
Politik Global bagi Komunitas Muslim
Berbicara
mengenai Islam di kawasan internasional, banyak sekali tantangan yang kemudian
dilahirkan oleh Barat menjadi bahan pertimbangan bagi seorang Muslim.
Nilai-nilai Barat seperti dinamika pemahaman sekularisme kadang menjadi
hambatan bagi perjalanan intekelektual komunitas muslim. Sekularisme secara
mendasar menjadi pola pemahaman yang membedakan antara urusan agama dan negara,
antara dimensi dunia dan akhirat secara dikotomis. Menurut Dr. Al-Azzam Tamimi,
sekularisme wujud dari pembebasan politik dan urusan agama. Kolonialis berperan
besar dalam menyebarkan sekuarisme ini. Sebab dengan konsep ini mereka dapat
memarginalkan Islam atau menyingkirkan Islam dari proses restrukturisasi
masyarakat pada masa colonial dan pasca kemerdekaan. Muslim yang terpengaruh
oleh ide ini jelas berpandangan bahwa agar maju, Muslim harus mengikuti
Kristen.
1.
Islam
pasca Kejadian World Trade Center atau dikenal 9/11.
Menurut
Harun Yahya, jumlah umat Islam di dunia mengalami peningkatan kuantitas secara signifikan.
Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlahnya hanya sekitar 500 juta;
20 tahun kemudian sudah mencapai 1,5 miliar. Kini jumlah tersebut terus
bertambah bahkan mencapai seperempat total jumlah penduduk dunia. Mereka
tersebar di Asia (20%), Eropa (5% atau sekitar 38 juta jiwa), Amerika (sekitar
7 juta), dan kawasan lainnya. Data ini merupakan hasil survei terbaru lembaga
survei Amerika Serikat, Pew Research Center. Dengan data tersebut, maka setiap empat orang
salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim
akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia.
Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang
terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf
yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol,
terutama setelah serangan terhadap World Trade Center (WTC) pada tanggal 11
September 2001.
Tragedi
11 September 2001 telah membawa dampak serius bagi dinamika politik global.
Dunia terhenyak kala gedung World Trade Center (WTC) yang menjadi sentral
ekonomi Amerika Serikat tersebut roboh diterjang pesawat yang disinyalir
dikendalikan sekelompok teroris. Ribuan korban berjatuhan. Pasca kejadian,
Amerika Serikat menyusun skenario dengan melakukan penangkapan terhadap
orang-orang yang diduga terlibat dalam tragedi tersebut. Presiden Amerika
Serikat saat itu, George W. Bush kemudian mendeklarasikan istilah perang baru
dalam konstelasi politik internasional, yang ia disebut sebagai War Again
Terrrorism atau The New Crusade. Dari
sinilah kemudian, pro dan kontra bermunculan, terlebih saat Bush
menginstruksikan perang dan mengkategorikan beberapa negara “pembangkang”
sebagai Axis of Evil. Friksi antar negara tak terelakkan. Sebagian negara
mendukung penuh kebijakan Amerika Serikat yang hendak memerangi teroris, dan
sebagian yang lain, kontra dengannya. Mereka yang kontra menuding bahwa tragedi
ini menjadi bagian dari konspirasi politik Amerika Serikat untuk memuluskan
obsesinya menghancurkan Islam dan menguasai kawasan Timur-Tengah.
Hal
penting yang perlu dikaji bahwa dalam ranah ilmiah, tragedi tersebut seolah
menjadi pembuktian wacana benturan antar peradaban (The Clash of Civilizations)
yang pernah dilontarkan oleh ilmuwan Barat. Wacana ini dipopulerkan oleh
Bernard Lewis. Melalui artikelnya yang berjudul “The Roots of Muslim Rage” ia
mulai menjajaki kemungkinan munculnya musuh baru bagi Barat pasca Perang
Dingin. Musuh baru yang dimaksud adalah Islam. Dalam mukadimah bukunya; Islam
and The West, Lewis (1993: vii) menegaskan bahwa konflik Islam dan Kristen
sebenarnya telah berjalan ratusan tahun. Pada rentang waktu tersebut -meskipun
mereka hidup berdampingan sebagai saudara beda agama- keduanya lebih sering
menampakkan diri sebagai rival. Inilah opini yang dikembangkan oleh Bernard
Lewis. Namun, posisinya sebagai penasihat pemerintah Amerika Serikat untuk
Timur-Tengah disinyalir oleh beberapa pihak menjadi faktor kurangnya
obyektifitas informasi yang dia kembangkan. Beberapa pihak menilai, opini
tersebut sarat dengan kepentingan politis.
Wacana
yang dipopulerkan oleh Bernard Lewis tersebut kemudian dimunculkan kembali oleh
ilmuwan politik dari Harvard yang sekaligus menjadi penasihat politik luar
negeri Amerika Serikat, Samuel P. Huntington, menegaskan bahwa konflik Islam
versus Kristen adalah konflik yang sebenarnya. Sementara konflik Kapitalis
versus Marxis hanyalah konflik sesaat yang kurang signifkan. Menurutnya, Islam
adalah satu-satunya peradaban yang berpotensi besar menyaingi peradaban Barat. Diantara
berbagai tawaran alternatif mengenai hubungan Islam dan Barat, term of the “clash
of civilization” kemudian menjadi yang paling popular dan menjadi kenyataan
dalam kancah global. Implikasinya, wacana ini merubah cara pandang publik
internasional terhadap Islam, baik sebagai agama ataupun peradaban. Nyatanya,
tema benturan antar peradaban yang dikemukakan oleh Bernard Lewis dan Samuel P.
Huntington tersebut memang memberi andil dalam konstelasi politik global,
utamanya menyangkut hubungan Islam dan Barat. Jika sebelumnya sejarah telah
mencatat ketegangan antara Islam dan Barat sebagai bagian dari masa lalu, maka
pasca tragedi 9/11 ketegangan tersebut kembali disemai dan seolah menandai
perang baru.
Perseteruan
antara dua kubu ini telah berlangsung lama, terlebih pasca pecahnya Perang Salib
(Crusade) yang sangat bersejarah. Meskipun ada faktor lain yang menjadi pemicu
pecahnya perang –misalnya persoalan rasial- namun benih-benih permusuhan antara
keduanya banyak disebabkan oleh memori kelabu pasca Perang Salib. Gencarnya
media dalam pencitraan Islam ternyata tidak selalu berakibat negatif. Seiring
dengan maraknya wacana keislaman yang diciptakan Bush, sebagian warga Amerika
Serikat justru ingin tahu lebih banyak tentang Islam. Bagi mereka, Islam
menjadi teka-teki. Lantas kemudian, mengapa Islam begitu ditakuti Amerika
Serikat? Dua minggu pasca tragedi, tidak kurang dari 11.000 warga Amerika
Serikat mengikrarkan keislamannya. Berdasarkan keterangan Ketua Majelis
Hubungan Islam Amerika, Nahad Audh, pada pertengahan November lebih dari 24.000
masyarakat Amerika Serikat menyatakan masuk Islam.
2.
Pandangan
Barat mengenai Islam
Islam
sebagai suatu peradaban semakin tidak berdaya di tengah-tengah dominasi
peradaban Barat dan globalisasi lainnnya. Sekalipun konflik yang diakibatkan
oleh Clash of Civiization tidak menjurus pada peperangan besar, ia sebenarnya
secara diam-diam melahap bermacam-macam aspek budaya seorang Muslim dan kepetningannya.
Islam menjadi bulan-bulanan bagi barat yang ingin mendomnasi dunia, dengan
berbagai alasan. Semakin Barat berkembang, semakin kecil harapan kebangkitan
dunia Islam. Negara Muslim yang kelihatan menantang peradaban Barat dan
menggugat orde internasonal kontemporer akan digempurkan dan dihancurkan.
Misalnya saja, kasus Arab Spring yag hinga hari ini masih memanas adalah bukti
dari inkonsistensi Barat daalam kebijakannya di kawasan Timur Tengah. Nasib
yang menimpa Sudan, Iraq, Mesir, Syiria, Libya, Somalia dan Iran adalah bukti
dari iming-iming Barat terhadap dunia Islam. Serangan yang bermula pada 11 September
2001, adalah bukti dari penjelmaan Barat untuk mengubah strategi terhadap
serangan perang besar-besaran ke negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah. Pada
akhirnya, Spring yang menjanjikan di Timur Tengah berubah menjadi Winter yang
kelabu. Kejadian kelam di New York 2001 tersebut pada akhinrya menjadi alasan
fundamental Barat untuk memerangi Osama Bin Ladin, Muammar Ghaddafi, Saddam
Husain, Jama’ah Islamiyah dan berbagai macam sektor masyarakat sipil yang tak
berdosa.
Demikian
juga para politisi Amerika Serikat dengan mudah mengunakan sentimen ‘anti
Islam” yang sudah berurat berakar pada masyarakat Kristen Barat. Direktur CIA,
George Tenet mengumumkan bahwa musuh utama Amerika adalah teroris besar Osama
bin Laden. Pernyataan ini memperkeruh hubungan Barat dan Islam. Apalagi dengan
Hancur leburnya menara kembar World Trade Centre (WTC) di New York Amerika pada
Selasa, 11 September 2001, merupakan tragedy terdahsyat dunia di awal abad ke
21. Osama bin Laden dan jaringan al-Qaedahnya yang tertuduh sebagai pelaku
utama kehancuran WTC, kelihatannya membawa dampak yang sangat buruk terhadap
dunia Islam. Dikatakan demikian, karena Presiden Amerika George Bush, secara
tiba- tiba mengeluarkan statemen bahwa “Islam adalah Teroris”. Dalam hal ini,
G. Bush mengumumkan kepada dunia bahwa: Amerika diserang teroris biadab.
Teroris itu adalah Osāma bin Laden. Teroris itu adalah Islam. Amerika tidak
akan tinggal Diam. Amerika akan membalas. Amerika tidak akan kalah. Amerika
sudah terbiasa berperang. Ikut Amerika atau ikut teroris. Tidak ada pilihan ketiga,
apalagi pilihan keempat. Siapa yang tidak mau ikut Amerika akan digebuk. Rezim
yang tidak mau memusuhi terorisme akan dicap sebagai rezim jahat.
Dua
poin penting yang perlu digarisbawahi dari statemen G. Bush tersebut, yakni;
“Teroris itu adalah Islam” dan “Amerika akan membalas”. Menurut penulis,
statemen poin pertama, belum ada bukti yang akurat. Sedangkan statemen point
kedua, buktinya sudah sangat banyak. Oleh karenanya, Fenomena di Amerika
sendiri sangat menarik. masyarakat Amerika berbondong-bondong masuk Islam
justru setelah peristiwa pemboman World Trade Center pada 11 September 2001
yang dikenal dengan 9/11 yang sangat memburukkan citra Islam itu. Pasca 9/11
adalah era pertumbuhan Islam paling cepat yang tidak pernah ada presedennya
dalam sejarah Amerika. Sekitar 7 juta orang Muslim yang kini ada di Amerika dan
20.000 orang Amerika masuk Islam setiap tahun setelah pemboman itu. Pernyataan
syahadat masuk Islam terus terjadi di kota-kota Amerika seperti New York, Los
Angeles, California, Chicago, Dallas, Texas dan yang lainnya.
Jika
melihat kasus 9/11, pendapat dari seorang praktisi media Amerika, Nadia Madjid,
yang dikemukakan dalam; Voice of America: melihat persepsi masyarakat Amerika
Serikat tentang Islam kurang lebih dibentuk oleh media. Tapi itu bukan berarti
para elit politik Amerika juga mampu mendiktekan persepsi media tentang apa
yang sedang mereka inginkan. Pemerintahan Bush membangun persepsi tentang
musuhnya lewat slogan perang melawan terorisme (war on teror), media Amerika
tidak akan bisa terus-menerus terpengaruh oleh penggunaan istilah itu. Dalam
pengamatan Nādia, media massa di Amerika cukup independen dalam tugasnya.
Selanjutnya Nādia mengatakan bahwa yang membentuk persepsi media Amerika
terhadap Islam dan dunia Islam adalah apa yang sedang terjadi di kalangan umat
Islam dan dunia Islam sendiri. Misalnya tentang apa yang terjadi di Irak
setelah ageresi Amerika di sana.
Pasca
tragedi 9/11, Amerika Serikat memanfaatkan media sebagai sarana untuk
mewacanakan citra Islam yang identik dengan kekerasan. Maka harus diperangi
karena mengancam ketentraman dunia. Terma “Terorisme” dan “Islamofobia” pun
semakin ramai diperbincangkan. Hal ini kemudian direspon serius oleh kalangan
muslim. Mereka menilai Amerika Serikat dan sekutunya sengaja memunculkan
wacana-wacana tersebut untuk kepentingan politiknya. Hubungan antara Islam dan
Barat pun memanas. Keduanya semakin berhadap-hadapan sebagai musuh. Sikap ini
sebenarnya ditunjukkan kedua belah pihak. Jika umat Islam menyatakan bahwa
Barat adalah musuh Islam, sebaliknya orang-orang Barat menyatakan juga bahwa
kelompok-kelompok Islam memusuhi Barat. Sikap berlawanan dan berhadap-hadapan
diduga kuat menjadi faktor langgengnya konflik yang terjadi antara Islam dan
Barat.
Kini,
sudah banyak media massa Amerika yang mulai mempertanyakan banyaknya anak-anak Amerika
yang terbunuh setelah dikirimkan untuk menjaga stabilitas di sana. Yang juga
disorot, mengapa masih terjadi konflik Sunni-Syiah. Dari situ mereka melihat
masih adanya tindak kekerasan di antara sesama masyarakat muslim sendiri. Media
Amerika juga rutin melihat apa yang terjadi di Afganistan dan beberapa tempat
di Indonesia, terutama jika ada konflik-konflik yang terkait dengan perbedaan
agama. Maka dari itu, Media dianggap sebagai salah satu intrumen penting dalam
pembentukan opini masyarakat Amerika.
Terkait
dengan sejarah hubungan Islam dan Barat, banyak peristiwa sejarah yang masih
menjadi memori kelabu dalam memori Barat. Jika peristiwa itu diungkit, dengan
mudah kebencian mereka terhadap Islam pun kembali bangkit. Misalnya, istilah
Crusades atau Perang Salib (1095-1291 M). Meskipun terjadi beberapa abad yang
lalu, istilah Crusades menjadi idiom sensitif yang berpotensi membangkitkan permusuhan
antara Islam dan Barat. Meskipun bukan awal dari konflik Islam dan Barat
–karena Islam dan Barat juga pernah menyemai konflik pada ekspansi Islam ke
Andalusia pada 705-1492 M. Namun, magnet Crusades dinilai masih sangat kuat
hingga saat ini sebagaimana konflik yang terus berkelanjutan antara
Israel-Palestina. Menariknya, eksploitasi adanya ancaman Islam dinilai efektif
bagi para politisi untuk meraih dukungan masyarakat Kristen. Fenomena inilah
yang membedakan antara Islam dengan agama atau peradaban lainnya. Serangan
pasukan Jepang ke Pearl Harbour dalam Perang Dunia II nyatanya tidak serta
merta melahirkan istilah anti-Jepang atau anti-Shinto. Hal ini berbeda dengan
tragedi 9/11. Ketika ingat atau diingatkan dengan tragedi tersebut, benih-benih
kebencian dan permusuhan terhadap Islam bersemai kembali.
Merupakan
hal penting yang perlu dicatat bahwa pasca tragedi 9/11, Amerika Serikat
mengalami kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam Politik yang didengungkan
oleh gerakan Islam Radikal. Karenanya, itu harus diperangi. Dalam International
Bulletin of Missionary Research disebutkan, upaya memerangi gerakan Islam
Radikal ini bertujuan untuk memberikan rasa aman bagi warga Amerika Serikat dan
sekutunya. Maklum, serangan militer Amerika Serikat dan sekutunya ke beberapa
wilayah, mengakibatkan tensi ancaman kaum Islam radikal memuncak. Ancaman
tersebut ditujukan kepada militer dan warga sipil Amerika Serikat beserta
sekutunya, dimanapun mereka berada.
Itulah
fenomena penting yang mempengaruhi hubungan Islam dan Barat. Hubungan antara
keduanya bersifat fluktuatif. Pada satu masa, keduanya menjalin kerjasama yang
baik di bidang politik, ekonomi dan sosial sebagaimana pada masa Perang Salib.
Keduanya ibarat sebagai saudara beda. Ketakutan George W. Bush atas perkembangan
Islam Politik ini mengingatkan pada kisah Prof. Dr. Snouck Hourgronje
(1857-1936). Oleh beberapa ahli, Hourgronje dikenal sangat piawai dalam
menyusun langkah-langkah sistematis yang efektif untuk mendukung pendudukan
pasukan Belanda di Indonesia. Bagi Hourgronje, kekuatan Islam Politik
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perjuangan umat Islam dalam
melawan penjajah. Maka, menghentikan laju perkembangan Islam Politik
–bagaimanapun caranya- adalah sebuah keniscayaan. Snouck Hourgronje berhasil
memasung perkembangan Islam Politik dengan cara menaklukan Aceh dan
membenturkan posisi kaum ulama dan kelompok aristokrat.
3.
Peranan Islam sebagai Pembentukan Jati Diri
Peradaban
Sebagai
peradaban, Islam hadir sebagai usaha dan mekanisme, bahkan cara dan anjuran
cara menjalani kehidupan yang ada di dunia. Islam dengan seperangkat syariatnya
telah mengatur bagaimana agar konsep negara serta pemerintahan dan aktualisasi
dari nilai-nilai keagaman mampu dilaksanakan secara bersamaan dan integratif di
kehidupan manusia. Jadi, Islam tidak hanya seperangkat ajaran dan dogma saja,
melainkan seperangkat aturan dan regulasi untuk memberikan prinsip dan mengatur
pola kehidupan manusia, baik hubungannya dengan interaksi sosial sesama manusia
maupun hubungannya dengan sanga Pencipta. Usaha untuk menggabungkan antar
keduanya dipercaya sebagai nilai istimewaa yang terdapat di dalam ajaran Islam,
sehinga manusia bisa memilah-milih mana yang baik dan benar dalam Islam. Karena
Islam sebagai peradaban, maka kita harus memahami lebih mendalam apa itu
peraadaban, dan bagaimana agar peradaban bisa diciptakan sesuai dengan
landasan-landasan Islam.
A.
Konsep
Peradaban
Kata
peradaban berasal dari kata Adab yang berarti kesopanan, kehalusan dan kebaikan
budi pekerti; akhlak. Beradab berarti 1) sopan baik budi Bahasa; dan 2) telah
maju kehidupan lahir dan batinnya. Peradaban berarti: 1) Kemajuan (kecerdsan
kebudayaan) lahir batin; 2) hal yang menyangkut budi bahasa dan kebudayaan
suatu bangsa.
Dari
pendekatan antropologis, menurut Gulen, peradaban adalah sebuah konep yang
memiliki beragam bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan pandangan, konsep,
falsafah, dan daya nalar yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan. Peradaban
mencakup 1) Sekumpulan aktivitas yang berhubungan dengan kehiudpan manusia,
atau 2) pola pemikiran, keyakinan, dan keimuan satu umat, atau 2) setiap
karakter khusus tertentu baik materiil maupun non materiil. Peradaban menjadi indikator
atau sumber dari berbgai kondisi dan karakter baik materiil maupun non
materiil, namun semua kondisi dan karakter itu juga selalu siap merespon
kebutuhan individu di tengah masyarakat mulai ia kanak-kanak, generasi muda,
hingga orang-orang lanjut usia. Bahkan semua kondisi dan karakter itu uga
sanggup merspon setiap periode yang berlangsung dalam kehidupan dan
perkembangan manusia.
B.
Hubungan
Peradaban dan Jati Diri
Jati
diri merupakan sesuatu hal yang efeknya terasa di semua sendi kehidupan
masyarakat. Dengan adanya jati diri, maka manusia akan merasakan siapa dirinya
sebenarnya. Jati diri juga merupakan sesutau yang nutrisinya bersumber dari
memeori, emosi, dan nurani kolektif suatu bangsa atau masyarakat seiring
berjalannya waktu, sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Menurut Gulen,
peradaban merupakan wujud dari jati diri. Oleh karena itu bagunya peradadan
merupakan bentuk kehidupan yang kita adopsi dari para penjajah yang telah
merajang jiwa kita selama bertahun-tahun itu. Dan, itu bukanlah pula nlai-nilai
yang teah mencerabut kita dari nilai-nilai luhur yang kita miliki.
Itulah
sebabnya, adalah keliru jika membatasi barat masa kini sebagai hasil dari kerja
keras ilmuan yang memiliki kemampuan tinggi seperti Copernicus Galileo Galilei,
Leonardo Da Vinci, Michael Angelo, Dante, Edison, Max Plane dan Einstein.
Sebagaimana juga tidak dapat dikatakan bahwa “kebangkitan sains” yang menjadi
kemarin, atau “letupan sains dan teknologi” yang terjadi saat ini, semata-mata
hanya sebagai hasil segelintir orang seperti yang telah disebutkan tadi.
Pelbagai peradaban hebat yang telah memukau banyak kepala menyilaukan sekian
pasang mata dengan kekayaan kultural yang dimilikinya, tidak pernah muncul di
Roma, Athenaa, Mesir, atau Babylona dalam sekejap mata, tanpa didahului oleh
masa panjang “pendahuluan”. Di mana pun juga, setiap peradaban selalu lahir
masa pengasuhan yang panjang di dalam dimensi dimensional dan intelektual yang
dimiliki individu-individu yang tinggal di dalam peradaban yang bersangkutan
serta di dalam lahan subur kesadaran kolektif mereka.
C.
Peranan
Agama dalam Pembentukan Jati Diri Peradaban
Menurut
Gulen, agama adalah salah satu unsur terpenting dalam hidup manusia, dan
merupakan unsur yang tidak bisa diganti dengan unsur yang lain. Menurut Gulen,
agama memiliki peran yang sangat vital dalam pembentukan jati diri sebuah
peradaban. Bagaimana kemudian agar agama sebagai suatu dimensi religius menjadi
dasar dan pondasi utama dalam kemajuan utama bagi kehidupan manusia. Manusia
dengan agama, mereka mampu melakukan gerakan kolektif untuk mengarah pada
kehidupan yang beridentitas dan mempunyai jati diri. Agama dan peradaban seolah
sebagai dua mata pedang yang tidak dapat dipisahkan, karena kehadiran keduanya
merupakan unsur dari implementasi nilai-nilai langit dan bumi secara bersamaan.
Peradaban yang dilakukan oleh manusia adalah proses dari pencarian jati diri
dan sebagai usaha dari manusia untuk menemukan jati diri yang sesuai dengan
kehidupan sosialnya.
Dalam
prosesnya, agama dan peradaban adalah satu kesatuan yang keduanya berjalan
secara beriringan. Agama menjadi aspek yang krusial bagi penentu hukum-hukum
dan seperangkat aturan dalam kehidupan manusia. Sedangkan peradaban, adalah
wadah yang menadikan agama sebagai tempat untuk dijalankan bagi manusia. Maka
dari itu, agama dan peradaban adalah yang terintegrasi satu dengan yang lain.
Agama mempunyai peran yang sangat penting, antara lain; Agama memainkan perang
penting bagi kebutuhan spiritual manusia, kebutuhan yang sangat bermakna dan
sangat penting bagi manusia disbanding kebutuhan materi. Agama bukan hanya
penting bagi kehidupan manusia, akan tetapi seluruh lini kehidupan manusia
karena di dalamnya terdapat seluruh alasan-alasan bagi kehidupan seluruh alam,
pola interaksi bagi kehidupan umat manusia. Selain itu, agama juga mempunyai
landasan hukum yang sangat sesuai dengan kehidupan manusia dan tidak dapat
terbantahkan. Manusia dan seluruh makhluk yang ada di dunia harus tunduk kepada
seperangkat aturan dan hukum yang ada dalam agama, karena semua aturan berandaskan
pada Tuhan, Allah SWT sebagai hakikat dari penguasa langit dan bumi sebenarnya.
SUMBER