Pengaruh Kemiskinan di Dunia Global
Untuk memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Politik Internasional
BAB I
Pendahuluan
Pengurangan angka kemiskinan telah menjadi “top priority” dalam
pembangunan internasional, norma-norma baru, fakta dan apa yang ditemukan dalam
kemiskinan global secara bertahap telah menjadi bagian dari “economic
wisdom”
yang sudah mapan. Meskipun demikian, kemiskinan dan kesenjangan masih tetap
menjadi persoalan internasional yang belum bisa dipecahkan secara memuaskan.
Bahkan, oleh karena isu kemiskinan tidak berhubungan langsung dengan
kepentingan negara-negara maju, isu ini sering kali digusur oleh isu lain,
seperti terorisme. Akibatnya, kemiskinan hanya menjadi isu utama di
lembaga-lembaga PBB yang keberhasilan programnya kurang efektif karena
bertentangan dengan mazhab mainstream lembaga-lembaga multilateral, seperti
Bank Dunia dan IMF yang Neoliberal.
Di beberapa tempat, memang terjadi laju pengurangan kemiskinan yang
signifikan, tapi di tempat-tempat lain, seperti kawasan Sub-Sahara Afrika
pengurangan laju kemiskinan hampir stagnan. Ini terjadi karena wilayah-wilayah
tersebut kurang menarik bagi investasi sehingga pertumbuhan ekonomi relatif
kecil. Sementara itu, jika terjadi pertumbuhan ekonomi pun, maka hasil-hasilnya
tidak bisa dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Sebaliknya, pertumbuhan
ekonomi hanya dinikmati sekelompok kecil elit politik dan ekonomi yang berada
di wilayah tersebut.
Di sisi lain, usaha untuk membangun ekonomi terbuka melalui jalan
neoliberal sepertinya justru memberikan implikasi yang jauh lebih buruk dalam
hal pengentasan kemiskinan. Analisis yang dilakukuan oleh Rita Abrahamsen
terhadap proyek Structural Adjusment Program’s
tersebut (SAPs) di negara-negara kawasan Afrika, misalnya, menemukan bahwa
program tersebut justru memperburuk kondisi kondisi kemiskinan di wilayah itu.
Demokratis semakin menurun, dan SAPs bahkan telah menyulut banyak kerudakan di
tengah langkanya layanan kesehatan, pangan, penurunan pendapatan, dan juga
menipisnya legitimasi pemerintah. Dengnan mengutip penelitian yang dilakukan
oleh UNICEF, Abrahamsen mengemukakan bahwa program penyesuaian struktural “cenderung
meningkatkan jumlah kemiskinan, atau dengan kata lain, jumlah orang dan
anak-anak yang hidup dibawah garis kemiskinan.”
Temuan rintidan yang dilakuakan oleh UNICEF ini, menurut
Abrahamsen, seiroing dengan penelitian-penelitian lainnya yang menegaskan bahwa
penyesuaian struktural cenderung menurunkan standar hidup masysrakat miskin
dengan memperburuk kondisi tenaga kerja dan pendapatan riil. Penerapan
penguatan untuk memengkas ongkos pelayanan publik juga telah mengurangi akses
pada layanan kesehatan dan pendidikan. Dikawasan tersebut, pemerintah yang
berkuasa menghadapi tuntunan liberalisme dan privatisasi oleh modal asing,
sementara pada waktu bersama pemerintah juga menghadapi tuntunan masyarakat
akan kehidupan lebih baik.
Kelompok ini mendiskusikan usaha-usaha untuk mengatasi persoalan
tersebut. Namun, untuk mempertegas bahwa kemiskinan dan kesenjangan merupakan
isu global yang memerlukan penegasan serius, terlebih dahulu akan dipaparkan
data-data statistik mengenai kemiskinan dan kesenjangan dari laporan-laporan
yang disampaikan oleh lembaga-lembaga internasional. Seperti UNDP, Bank Dunia
ataupun laporan-laporan lain yang relevan. Berikutnya, untuk mengatasi
kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari usaha untuk mendiskusikan pokok persoalan
tersebut, dalam pengertian bagaimana kemiskinan itu didefinisikan.
Pendefinisian yang tepat akan membuka kesempatan bagi terbukanya strategi
penanganan yang tepat pula, demikian sebaliknya.
BAB II
2.1 Mendefinisikan Kemiskinan
Pendefinisian mengenai kemiskinan tampaknya tepat tidak pernah
tunggal meskipun bebarapa poin pokok di sepakati. Sebagian orang memhami
istilah kemiskinan dari perspektif subjektif dan komperatif, sementara yang
lainnya melihat dari segi moral dan
evaluatif. Menurut Caroline Thomas, perbedaan-perbedaan dalam mendefinisikan
kemiskinan disebkan oleh perbedaan-perbedaan dalam melihat pembangunan. Oleh
karena itu, persoalan kemiskinan tidak bisa di lepaskan dari isu-isu
pembangunan sebagaimana nanti akan kita diskusikan dalam bab selanjutnya.
Meskipun demikian, menurut Thomas ada beberapa aspek yang disepakati, terutama
dalam hal kebutuhan material seperti kekurangan makan, air bersih, dan
sanitasi, sedangkan hal-hal yang bersifat non material belum ada kesepakatan.
Hampir semua pemerintah, lembaga internasional, dan juga banyak
pihak di dunia menganut pandangan orthodoks, kemiskinan dilihat sebagai situasi
dimana orang-orang tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli makanan atau
kebutuhan-kebutuhan dasar mereka secara memuaskan, dan seringkali kondisi ini
dimasukkan ke dalam situasi unior under employed. Menurut Calorine Thomas,
definisi yang menyadarkan pada ketersediaan uang untuk membeli
kebutuhan-kebutuhan pokok ini merupakan hasil globalisasi budaya barat dan
kehadiran pasar. Oleh karna itu sejak tahun1945, kemiskinan dilihat sebagai
kondisi ekonomi yang pemberantasannya tergantung pada ketersediaan uang untuk
melakukan transaksi di pasar. Barangkali cara pandang inilah yang mendorong
pemerintahan SBY untuk memberikan cash money kepada masyarakat miskin sebagai
kompensasi atas kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Priven dan Cloward (1993) dan juga Swanson (2001) mendefinisikan
kemiskinan dalam kerangka pemenuhan kebutuhan material. Ketiga penulis ini
mengemukakan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya
penghasilan, dan adanya kebutuhan sosial, pertama, kekurangan materi. Kemiskinan
sebagai kekurangan materi di gambarkan sebagai situasi kesulitan yang di hadapi
orang dalam memperoleh barang-barang yang bersifat kebutuhan dasar. Oleh
karnanya, kemiskinan, dalam dimensi ini sering dipahami sebagai kemampuan
seseorang untuk mendapatkan kebutuhan material yang bersifat mendasar. Kedua,
kekurangan penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai “ dalam kaitan
ini sering dipahami sebagai standar atau garis kemiskinan (poverty line) yang
berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Ketiga, kesulitan memenuhi
kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial (social exclusion),
ketergantungan, dan ketidak mampuan berpartisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan
dalam dimensi ini di pahami sebagai situasi kelangkaan pelayanan sosial dan
rendahnya aksesibilitas lembaga-lembaga pelayanan sosial, seperi pendidikan,
kesehatan, dan informasi.
Lebih lanjut David Cox (2004) mengemukakan bebarapa dimensi
kemiskinan yang dikategorikan berdasar akar penyebab munculnya kemiskinan.
Pertama, kemiskinan yang disebabkan oleh globalisasi. Kedua, kemiskinan akibat
pembangunan. Disini, kita busa menemukan kemiskinan subsisten sebagai suatu
kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya pembangunan, dan kemiskinan perkotaan
yang disebabkan oleh percepatan pertumbuhan perkotaan yang tidak mampu
diimbangu atau tidak menyentuh masyarakat miskin kota. Ketiga, kemiskinan
sosial, yakni kemiskinan yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas sepeti
anak-anak perempuan. Keempat, kemiskinan konsekunsi. Suatu kemiskinan yang terjadi
akibat kejadian-kejadian lain faktor-faktor eksternal di luar si miskin seperti
konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.
Definisi yang dikemukakan oleh David Cox ini tampaknya cukup
memadai karna kemiskinan tidak semata didefinisikan dalam kerangka
kebutuhan-kebutuhan material, tapi juga yang bersifat immaterial. Selain itu,
pendefinisian kemiskinan semacam itu memberikan gambaran akan sebab-sebab
munculnya kemiskinan, baik yang bersifat struktural maupun nonstruktural.
2.2 Konsep dan
Indikator Kemiskinan
Konsep tentang
kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga
pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.
BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan
sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar tersebut antara lain,
terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air
bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari
perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial-politik. Untuk mewujudkan hak-hak dasar seseorang atau
sekelompok orang miskin Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara
lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan
(income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan
pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan
sebagai suatu ketidakmampuan (lack of
capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan,
sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan
sanitasi.
Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan
disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat- alat produktif seperti
tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung
mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan
secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan
kelas sosialnya.
Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan
sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis
untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini
menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi
orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan.
Pendekatan obyektif atau sering juga disebut
sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada
penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan.
Pendekatan subyektif menilai kemiskinan
berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri. Kenyataan menunjukkan
bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak
hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga
sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya,
kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensidimensi lain itu
diperhitungkan.
Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar
kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2)
terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3)
kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan
kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5)
adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi
(ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan
tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan
dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8)
tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9)
pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan
modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan,
pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat,
perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas,
budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber
daya alam yang berlebihan.
Indikator-indikator tersebut dipertegas dengan
rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS yaitu ; terbatasnya kecukupan
dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan
kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.
Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya
mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari
2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan
terendah.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa indikator utama kemiskinan adalah; (1) kurangnya pangan, sandang dan
perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat
produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan
kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan
ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap
ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (9)
terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (10) terbatasnya akses
dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (11) terbatasnya kesempatan kerja dan
berusaha; (12) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah;
(13) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (14) terbatasnya akses
terhadap air bersih; (15) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah;
(16) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta
terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (17) lemahnya jaminan
rasa aman; (18) lemahnya partisipasi; (19) besarnya beban kependudukan yang
disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (20) tata kelola pemerintahan
yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan
publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
2.3 Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Kemiskinan
merupakan masalah terbesar bagi setiap negara di dunia. tidak dapat dipungkiri,
isu-isu kemiskinan sampai saat ini belum juga menemukan solusi yang dapat
melegakan pemerintah nasional maupun internasional. Salah satu solusi untuk
menaggulangi kemiskinan adalah dengan ketenagakejaan dengan melihat potensi
taraf kehidupan penduduk di suatu negara. Menurut ILO, (International Labour
Organization) menyatakan dengan perluasan kesempatan kerja akan dibarengi
dengan menurunnya kemiskinan, semua itu akan terwujud jika tingkat gaji atau
bayaran bagi setiap tenaga kerja juga sesuai bahkan meningkat. Hubungan antara
ketenagakerjaan dan kemiskinan adalah ketika memperoleh pendapatan. Pendapatan
yang diperoleh dari bekerja tentu dapat diukur dengan, apakah mencukupi
kebutuhan sehari-hari pekerja tersebut. Maka dengan tinjauan inilah kita bisa
menganalisa penurunan dan pengurangan kemiskinan yang terjadi di setiap negara
khususnya di indonesia.
Menurut Bank
Dunia, Indonesia merupakan salah satu negara yang
sukses dalam menggulangi masalah kemiskinan dari tahun 1976 dari angka 40%
mencapai angka 11% dari populasi indonesia pada saat itu berdasarkan Badan
Pusat Statistik. Penanggulangan yang dilakukan indonesia hanya berjalan hingga
tahun 1996, dan indonesia kembali mengalami krisis pada tahun 1998 dan
kemiskinanpun kembali meningkat hingga mencapai 24,2% yang disebabkan oleh
meroketnya harga-harga komoditas baik makanan maupun non-makanan. Setelah itu
indonesia mengalami penurunan secara bertahap meskipun agak lambat.
Garis
kemiskinan Bank Dunia hanya dapat dipakai untuk membandingkan dan memonitor perkembangan tingkat
kemiskinan secara internasional atau antar negara. Sementara Bank Dunia tetap
menyarankan memakai penggunaan garis kemiskinan negara masing-masing dalam
memonitor perkembangan kemiskinan di negaranya baik wilayah maupun nasional.
Untuk menanggulangi masalah kemiskinan
diperlukan upaya yang memadukan berbagai kebijakan dan program pembangunan yang
tersebar di berbagai sektor. Kebijakan pengentasan kemiskinan menurut Gunawan
Sumodiningrat (1998) dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu kebijakan tidak
langsung, dan kebijakan yang langsung. Kebijakan tak langsung meliputi (1)
upaya menciptakan ketentraman dan kestabilan situasi ekonomi, sosial dan
politik; (2) mengendalikan jumlah penduduk; (3) melestarikan lingkungan hidup
dan menyiapkan kelompok masyarakat miskin melalui kegiatan pelatihan. Sedangkan
kebijakan yang langsung mencakup: (1) pengembangan data dasar (base data) dalam
penentuan kelompok sasaran (targeting); (2) penyediaan kebutuhan dasar (pangan,
sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan); (3) penciptaan kesempatan dan lapangan kerja; (4) program pembangunan wilayah; dan
(5) pelayanan perkreditan.
Untuk menanggulangi masalah kemiskinan harus
dipilih strategi yang dapat memperkuat peran dan posisi perekonomian rakyat
dalam perekonomian nasional, sehingga terjadi perubahan struktural yang
meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, pemberdayaan sumber
daya manusia (Sumodiningrat, 1998). Program yang dipilih harus berpihak dan
memberdayakan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan peningkatan
perekonomian rakyat. Program ini harus diwujudkan dalam langkah-langkah
strategis yang diarahkan secara langsung pada perluasan akses masyarakat miskin
kepada sumber daya pembangunan dan menciptakan peluang bagi masyarakat paling
bawah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, sehingga mereka mampu mengatasi
kondisi keterbelakangannya. Selain itu upaya penanggulangan kemiskinan harus
senantiasa didasarkan pada penentuan garis kemiskinan yang tepat dan pada
pemahaman yang jelas mengenai sebab-sebab timbulnya persoalan itu.
2.4 Structural
Adjustment Programs (SAPs) & Poverty
Pada akhir Perang
Dunia II sistem ekonomi internasional hancur. Tentu ada aturan dan prosedur yang diperlukan untuk
memulihkan stabilitas ekonomi dan oleh karena itu kebutuhan akan suatu lembaga
baru muncul. Salah satu lembaga yang didirikan dalam perjalanan Perjanjian
Bretton Woods tahun 1944 adalah Dana Moneter Internasional (IMF). Yang telah
ditugaskan untuk mengatur sistem moneter internasional dan sistem keuangan dan
mempromosikan stabilitas. Lembaga ini harus mendorong kerja sama ekonomi dan
membantu mempromosikan kesehatan ekonomi dunia.
Program Penyesuaian Struktural adalah program yang memungkinkan
bagi negara-negara untuk mendapatkan pinjaman dari IMF atau Bank Dunia.
Pinjaman ini terhubung dengan persyaratan-persyaratan seperti reformasi
kebijakan yang signifikan yang harus dipenuhi sebelum mendapatkan pinjaman
(Abugre, 2000). Dalam sejarah lembaga utama menyediakan struktur pinjaman
penyesuaian adalah Bank Dunia. Sejak tahun 1986 juga, Moneter Internasional
Fund (IMF) memberikan pinjaman penyesuaian dan lembaga keuangan
internasional lainnya kemudian International Financial Institution (IFI)
yang mengadopsi
prinsip-prinsip IMF.
Tujuan utama Struktural Program Penyesuaian adalah pengurangan
inflasi. Ini telah disetujui secara luas bahwa tingkat inflasi yang tinggi
memiliki konsekuensi negatif pada pertumbuhan dan kemiskinan. Beberapa studi
namun menemukan bahwa negara-negara yang mencapai dan mempertahankan stabilitas
makroekonomi mungkin tidak selalu mendapatkan signifikan membayar tanggungan
dalam pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan (Gunter, Cohen, & Lofgren,
2005).
Inflasi yang lebih rendah cenderung meningkatkan pendapatan riil
masyarakat miskin jika penyesuaian pendapatan untuk kenaikan pengeluaran karena
inflasi lambat. Dampak dari tingkat inflasi yang lebih rendah pada distribusi
pendapatan tergantung pada kestabilan pendapatan untuk harga masing-masing
kelompok individu. Itu berarti bahwa jika individu miskin menghadapi
penyesuaian lagi, maka ia akan tertinggal dari orang kaya, karena inflasi
rendah akan mengurangi ketimpangan dalam distribusi pendapatan (Garuda, 2000).
2.5
Respon nasional dan internasional terhadap kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalahyang sangat kompleks, yang memerlukan
kerjasama dari berbagai pihak dalam mengatasinya. Pengentasan rakyat dari kemiskinan merupakan suatu
pekerjaan rumah bagi masing-masing negara yang menginginkan rakyatnya makmur
dan sejahtera.
Sebagai respon
dari dunia internasional terhadap kemiskinan adalah adanya upaya kepedulian
yang dilakukan oleh lembaga internasional yang berupaya mengentaskan kemiskinan
dengan programnya masing-masing. Seperti world bank dengan IMF, ILO, UNICEF,
WTO dll. Dengan adanya organisasi internasional ini step by step
kemiskinan dapat terentaskan pada
masyarakat suatu negara namun dengan syarat organisasi itu semua bekerjasama
dengan baik dalam hal menurunkan angka kemiskinan.
Pada sekitar tahun 1997, ketika World
Bank
berada dibawah pimpinan Wolfenson, terdapat beberapa upaya untuk meningkatkan
efektifitas upaya pembangunan, pengentasan kemiskinan, dll.
Respon kemiskinan
yang terjadi di Indonesia misalnya ketika politik dan keamanan yang sudah tidak
stabil ditambah dengan terjadinya krisis ketika tahun 1997-1998, yang mana
pertumbuhan ekonomi mencapai 13 persen, inflasi tercatat sangat tinggi sampai
77 persen, PHK dimana-mana, dan melonjaknya angka kemiskinan. Dan kejadian di
Indonesia ini menyebabkan repon yang sangat kacau, yang mana ketika itu
instabilitas politik yang sudah
tidak stabil lagi yang ditandai dengan gelombang demonstasi, hura-hura,
kerusuhan, dan mengakibatkan kepada kekerasan.
Dalam hal kesehatan
respon kemiskinan menjadi hal yang buruk, yang mana keterbatasan akses dan
rendahnya mutu layanan kesahatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan
kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman
terhadap hidup sehat, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi
lain pun, utilisasi (penggunaan) rumah sakit masih didominasi oleh golongan
mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan puskesmas.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Untuk mengurangi tingkat kemiskinan di
Indonesia perlu diketahui sebenarnya faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan
atau mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kemiskinan (jumlah penduduk miskin)
di Indonesia sehingga kedepannya dapat diformulasikan sebuah kebijakan publik
yang efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negara ini dan tidak hanya
sekedar penurunan angka-angka saja melainkan secara kualitatif juga.
Strategi dan kebijakan alternatif
yang berpihak kepada rakyat miskin, “option for the
poor” menjadi kebutuhan mutlak
menanggulangi kemiskinan. strategi dan kebijakan alternatif menanggulangi
kemiskinan desa dapat dilakukan dengan cara memberikan kesempatan yang luas
kepada masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan yang memadai, redistribusi lahan dan modal pertanian yang
seimbang, mendorong perkembangan investasi pertanian dan membuka kesempatan
yang luas kepada masyarakat untuk memperoleh kredit usaha yang mudah,
memperkenalkan sistem pertanian modern dengan teknologi baru yang memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang memadai, memperkuat komitmen eksekutif dan legislatif
untuk memperbaiki tatanan pemerintahan dan mendorong agenda pembangunan daerah
memprioritaskan pemberantasan kemiskinan sebagai skala prioritas yang utama.
Oleh karena itu, dalam menanggulangi
kemiskinan harus menyelasikan beberapa problem yang sudah disebutkan diatas
tadi, bahwa dalam menyelasaikan segala problem dalam kemiskinan, peningkatan
mutu pekerjaan atau penyediaan lapangan krja bagi seluruh masyarakat merupakan
faktor yang sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sritua
dan Adi Sasono 1981, Indonesia : Ketergantungan Dan
Keterbelakangan, Jakarta : Lembaga Studi
Pembangunan
Baran, Paul,
1957. Political Economy Of Growth, New
York : Monthly Review
Press
BPS. 2004,
Data Dan Informasi Kemiskinan, Jakarta
BPS. 2009.
Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009, Jakarta
Badan Pusat Statistik. Jakarta
Winarno Budi. 2014. Dinamika Isu-isu Global Kontemporer,
Yogyakarta. PT.Buku Seru.
---o0o---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar