Senin, 15 Februari 2016

Pengaruh Kemiskinan di Dunia Global

Pengaruh Kemiskinan di Dunia Global 
Untuk memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Politik Internasional


BAB I
Pendahuluan
Pengurangan angka kemiskinan telah menjadi “top priority” dalam pembangunan internasional, norma-norma baru, fakta dan apa yang ditemukan dalam kemiskinan global secara bertahap telah menjadi bagian dari economic wisdom yang sudah mapan. Meskipun demikian, kemiskinan dan kesenjangan masih tetap menjadi persoalan internasional yang belum bisa dipecahkan secara memuaskan. Bahkan, oleh karena isu kemiskinan tidak berhubungan langsung dengan kepentingan negara-negara maju, isu ini sering kali digusur oleh isu lain, seperti terorisme. Akibatnya, kemiskinan hanya menjadi isu utama di lembaga-lembaga PBB yang keberhasilan programnya kurang efektif karena bertentangan dengan mazhab mainstream lembaga-lembaga multilateral, seperti Bank Dunia dan IMF yang Neoliberal.
Di beberapa tempat, memang terjadi laju pengurangan kemiskinan yang signifikan, tapi di tempat-tempat lain, seperti kawasan Sub-Sahara Afrika pengurangan laju kemiskinan hampir stagnan. Ini terjadi karena wilayah-wilayah tersebut kurang menarik bagi investasi sehingga pertumbuhan ekonomi relatif kecil. Sementara itu, jika terjadi pertumbuhan ekonomi pun, maka hasil-hasilnya tidak bisa dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sekelompok kecil elit politik dan ekonomi yang berada di wilayah tersebut.
Di sisi lain, usaha untuk membangun ekonomi terbuka melalui jalan neoliberal sepertinya justru memberikan implikasi yang jauh lebih buruk dalam hal pengentasan kemiskinan. Analisis yang dilakukuan oleh Rita Abrahamsen terhadap proyek Structural Adjusment Program’s tersebut (SAPs) di negara-negara kawasan Afrika, misalnya, menemukan bahwa program tersebut justru memperburuk kondisi kondisi kemiskinan di wilayah itu. Demokratis semakin menurun, dan SAPs bahkan telah menyulut banyak kerudakan di tengah langkanya layanan kesehatan, pangan, penurunan pendapatan, dan juga menipisnya legitimasi pemerintah. Dengnan mengutip penelitian yang dilakukan oleh UNICEF, Abrahamsen mengemukakan bahwa program penyesuaian struktural “cenderung meningkatkan jumlah kemiskinan, atau dengan kata lain, jumlah orang dan anak-anak yang hidup dibawah garis kemiskinan.”
Temuan rintidan yang dilakuakan oleh UNICEF ini, menurut Abrahamsen, seiroing dengan penelitian-penelitian lainnya yang menegaskan bahwa penyesuaian struktural cenderung menurunkan standar hidup masysrakat miskin dengan memperburuk kondisi tenaga kerja dan pendapatan riil. Penerapan penguatan untuk memengkas ongkos pelayanan publik juga telah mengurangi akses pada layanan kesehatan dan pendidikan. Dikawasan tersebut, pemerintah yang berkuasa menghadapi tuntunan liberalisme dan privatisasi oleh modal asing, sementara pada waktu bersama pemerintah juga menghadapi tuntunan masyarakat akan kehidupan lebih baik.
Kelompok ini mendiskusikan usaha-usaha untuk mengatasi persoalan tersebut. Namun, untuk mempertegas bahwa kemiskinan dan kesenjangan merupakan isu global yang memerlukan penegasan serius, terlebih dahulu akan dipaparkan data-data statistik mengenai kemiskinan dan kesenjangan dari laporan-laporan yang disampaikan oleh lembaga-lembaga internasional. Seperti UNDP, Bank Dunia ataupun laporan-laporan lain yang relevan. Berikutnya, untuk mengatasi kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari usaha untuk mendiskusikan pokok persoalan tersebut, dalam pengertian bagaimana kemiskinan itu didefinisikan. Pendefinisian yang tepat akan membuka kesempatan bagi terbukanya strategi penanganan yang tepat pula, demikian sebaliknya.













BAB II
2.1 Mendefinisikan Kemiskinan
Pendefinisian mengenai kemiskinan tampaknya tepat tidak pernah tunggal meskipun bebarapa poin pokok di sepakati. Sebagian orang memhami istilah kemiskinan dari perspektif subjektif dan komperatif, sementara yang lainnya melihat dari segi moral dan evaluatif. Menurut Caroline Thomas, perbedaan-perbedaan dalam mendefinisikan kemiskinan disebkan oleh perbedaan-perbedaan dalam melihat pembangunan. Oleh karena itu, persoalan kemiskinan tidak bisa di lepaskan dari isu-isu pembangunan sebagaimana nanti akan kita diskusikan dalam bab selanjutnya. Meskipun demikian, menurut Thomas ada beberapa aspek yang disepakati, terutama dalam hal kebutuhan material seperti kekurangan makan, air bersih, dan sanitasi, sedangkan hal-hal yang bersifat non material belum ada kesepakatan.
Hampir semua pemerintah, lembaga internasional, dan juga banyak pihak di dunia menganut pandangan orthodoks, kemiskinan dilihat sebagai situasi dimana orang-orang tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli makanan atau kebutuhan-kebutuhan dasar mereka secara memuaskan, dan seringkali kondisi ini dimasukkan ke dalam situasi unior under employed. Menurut Calorine Thomas, definisi yang menyadarkan pada ketersediaan uang untuk membeli kebutuhan-kebutuhan pokok ini merupakan hasil globalisasi budaya barat dan kehadiran pasar. Oleh karna itu sejak tahun1945, kemiskinan dilihat sebagai kondisi ekonomi yang pemberantasannya tergantung pada ketersediaan uang untuk melakukan transaksi di pasar. Barangkali cara pandang inilah yang mendorong pemerintahan SBY untuk memberikan cash money kepada masyarakat miskin sebagai kompensasi atas kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Priven dan Cloward (1993) dan juga Swanson (2001) mendefinisikan kemiskinan dalam kerangka pemenuhan kebutuhan material. Ketiga penulis ini mengemukakan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya penghasilan, dan adanya kebutuhan sosial, pertama, kekurangan materi. Kemiskinan sebagai kekurangan materi di gambarkan sebagai situasi kesulitan yang di hadapi orang dalam memperoleh barang-barang yang bersifat kebutuhan dasar. Oleh karnanya, kemiskinan, dalam dimensi ini sering dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk mendapatkan kebutuhan material yang bersifat mendasar. Kedua, kekurangan penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai “ dalam kaitan ini sering dipahami sebagai standar atau garis kemiskinan (poverty line) yang berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Ketiga, kesulitan memenuhi kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial (social exclusion), ketergantungan, dan ketidak mampuan berpartisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan dalam dimensi ini di pahami sebagai situasi kelangkaan pelayanan sosial dan rendahnya aksesibilitas lembaga-lembaga pelayanan sosial, seperi pendidikan, kesehatan, dan informasi.
Lebih lanjut David Cox (2004) mengemukakan bebarapa dimensi kemiskinan yang dikategorikan berdasar akar penyebab munculnya kemiskinan. Pertama, kemiskinan yang disebabkan oleh globalisasi. Kedua, kemiskinan akibat pembangunan. Disini, kita busa menemukan kemiskinan subsisten sebagai suatu kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya pembangunan, dan kemiskinan perkotaan yang disebabkan oleh percepatan pertumbuhan perkotaan yang tidak mampu diimbangu atau tidak menyentuh masyarakat miskin kota. Ketiga, kemiskinan sosial, yakni kemiskinan yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas sepeti anak-anak perempuan. Keempat, kemiskinan konsekunsi. Suatu kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain faktor-faktor eksternal di luar si miskin seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.
Definisi yang dikemukakan oleh David Cox ini tampaknya cukup memadai karna kemiskinan tidak semata didefinisikan dalam kerangka kebutuhan-kebutuhan material, tapi juga yang bersifat immaterial. Selain itu, pendefinisian kemiskinan semacam itu memberikan gambaran akan sebab-sebab munculnya kemiskinan, baik yang bersifat struktural maupun nonstruktural.
2.2 Konsep dan Indikator Kemiskinan
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.
BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar tersebut antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Untuk mewujudkan hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang miskin Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of  capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi    kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.
Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat- alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya.
Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan  bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan.
Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan.
Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri. Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensidimensi lain itu diperhitungkan.
Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan. Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.
Indikator-indikator tersebut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS yaitu ; terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa indikator utama kemiskinan adalah; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (9) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (10) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (11) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (12) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (13) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (14) terbatasnya akses terhadap air bersih; (15) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (16) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (17) lemahnya jaminan rasa aman; (18) lemahnya partisipasi; (19) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (20) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

2.3  Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah terbesar bagi setiap negara di dunia. tidak dapat dipungkiri, isu-isu kemiskinan sampai saat ini belum juga menemukan solusi yang dapat melegakan pemerintah nasional maupun internasional. Salah satu solusi untuk menaggulangi kemiskinan adalah dengan ketenagakejaan dengan melihat potensi taraf kehidupan penduduk di suatu negara. Menurut ILO, (International Labour Organization) menyatakan dengan perluasan kesempatan kerja akan dibarengi dengan menurunnya kemiskinan, semua itu akan terwujud jika tingkat gaji atau bayaran bagi setiap tenaga kerja juga sesuai bahkan meningkat. Hubungan antara ketenagakerjaan dan kemiskinan adalah ketika memperoleh pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dari bekerja tentu dapat diukur dengan, apakah mencukupi kebutuhan sehari-hari pekerja tersebut. Maka dengan tinjauan inilah kita bisa menganalisa penurunan dan pengurangan kemiskinan yang terjadi di setiap negara khususnya di indonesia.
Menurut Bank Dunia, Indonesia merupakan salah satu negara yang sukses dalam menggulangi masalah kemiskinan dari tahun 1976 dari angka 40% mencapai angka 11% dari populasi indonesia pada saat itu berdasarkan Badan Pusat Statistik. Penanggulangan yang dilakukan indonesia hanya berjalan hingga tahun 1996, dan indonesia kembali mengalami krisis pada tahun 1998 dan kemiskinanpun kembali meningkat hingga mencapai 24,2% yang disebabkan oleh meroketnya harga-harga komoditas baik makanan maupun non-makanan. Setelah itu indonesia mengalami penurunan secara bertahap meskipun agak lambat.
Garis kemiskinan Bank Dunia hanya dapat dipakai untuk membandingkan dan memonitor perkembangan tingkat kemiskinan secara internasional atau antar negara. Sementara Bank Dunia tetap menyarankan memakai penggunaan garis kemiskinan negara masing-masing dalam memonitor perkembangan kemiskinan di negaranya baik wilayah maupun nasional.
Untuk menanggulangi masalah kemiskinan diperlukan upaya yang memadukan berbagai kebijakan dan program pembangunan yang tersebar di berbagai sektor. Kebijakan pengentasan kemiskinan menurut Gunawan Sumodiningrat (1998) dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu kebijakan tidak langsung, dan kebijakan yang langsung. Kebijakan tak langsung meliputi (1) upaya menciptakan ketentraman dan kestabilan situasi ekonomi, sosial dan politik; (2) mengendalikan jumlah penduduk; (3) melestarikan lingkungan hidup dan menyiapkan kelompok masyarakat miskin melalui kegiatan pelatihan. Sedangkan kebijakan yang langsung mencakup: (1) pengembangan data dasar (base data) dalam penentuan kelompok sasaran (targeting); (2) penyediaan kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan); (3) penciptaan kesempatan dan lapangan kerja; (4) program pembangunan wilayah; dan (5) pelayanan perkreditan.
Untuk menanggulangi masalah kemiskinan harus dipilih strategi yang dapat memperkuat peran dan posisi perekonomian rakyat dalam perekonomian nasional, sehingga terjadi perubahan struktural yang meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, pemberdayaan sumber daya manusia (Sumodiningrat, 1998). Program yang dipilih harus berpihak dan memberdayakan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan peningkatan perekonomian rakyat. Program ini harus diwujudkan dalam langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada perluasan akses masyarakat miskin kepada sumber daya pembangunan dan menciptakan peluang bagi masyarakat paling bawah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, sehingga mereka mampu mengatasi kondisi keterbelakangannya. Selain itu upaya penanggulangan kemiskinan harus senantiasa didasarkan pada penentuan garis kemiskinan yang tepat dan pada pemahaman yang jelas mengenai sebab-sebab timbulnya persoalan itu.

2.4 Structural Adjustment Programs (SAPs) & Poverty
            Pada akhir Perang Dunia II sistem ekonomi internasional hancur. Tentu ada  aturan dan prosedur yang diperlukan untuk memulihkan stabilitas ekonomi dan oleh karena itu kebutuhan akan suatu lembaga baru muncul. Salah satu lembaga yang didirikan dalam perjalanan Perjanjian Bretton Woods tahun 1944 adalah Dana Moneter Internasional (IMF). Yang telah ditugaskan untuk mengatur sistem moneter internasional dan sistem keuangan dan mempromosikan stabilitas. Lembaga ini harus mendorong kerja sama ekonomi dan membantu mempromosikan kesehatan ekonomi dunia.
Program Penyesuaian Struktural adalah program yang memungkinkan bagi negara-negara untuk mendapatkan pinjaman dari IMF atau Bank Dunia. Pinjaman ini terhubung dengan persyaratan-persyaratan seperti reformasi kebijakan yang signifikan yang harus dipenuhi sebelum mendapatkan pinjaman (Abugre, 2000). Dalam sejarah lembaga utama menyediakan struktur pinjaman penyesuaian adalah Bank Dunia. Sejak tahun 1986 juga, Moneter Internasional Fund (IMF) memberikan pinjaman penyesuaian dan lembaga keuangan internasional lainnya kemudian International Financial Institution (IFI) yang mengadopsi prinsip-prinsip IMF.
Tujuan utama Struktural Program Penyesuaian adalah pengurangan inflasi. Ini telah disetujui secara luas bahwa tingkat inflasi yang tinggi memiliki konsekuensi negatif pada pertumbuhan dan kemiskinan. Beberapa studi namun menemukan bahwa negara-negara yang mencapai dan mempertahankan stabilitas makroekonomi mungkin tidak selalu mendapatkan signifikan membayar tanggungan dalam pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan (Gunter, Cohen, & Lofgren, 2005).
Inflasi yang lebih rendah cenderung meningkatkan pendapatan riil masyarakat miskin jika penyesuaian pendapatan untuk kenaikan pengeluaran karena inflasi lambat. Dampak dari tingkat inflasi yang lebih rendah pada distribusi pendapatan tergantung pada kestabilan pendapatan untuk harga masing-masing kelompok individu. Itu berarti bahwa jika individu miskin menghadapi penyesuaian lagi, maka ia akan tertinggal dari orang kaya, karena inflasi rendah akan mengurangi ketimpangan dalam distribusi pendapatan (Garuda, 2000).
2.5 Respon nasional dan internasional terhadap kemiskinan
                Kemiskinan merupakan masalahyang sangat kompleks, yang memerlukan kerjasama dari berbagai pihak dalam mengatasinya. Pengentasan  rakyat dari kemiskinan merupakan suatu pekerjaan rumah bagi masing-masing negara yang menginginkan rakyatnya makmur dan sejahtera.
            Sebagai respon dari dunia internasional terhadap kemiskinan adalah adanya upaya kepedulian yang dilakukan oleh lembaga internasional yang berupaya mengentaskan kemiskinan dengan programnya masing-masing. Seperti world bank dengan IMF, ILO, UNICEF, WTO dll. Dengan adanya organisasi internasional ini step by step kemiskinan dapat  terentaskan pada masyarakat suatu negara namun dengan syarat organisasi itu semua bekerjasama dengan baik dalam hal menurunkan angka kemiskinan. Pada sekitar tahun 1997, ketika World Bank berada dibawah pimpinan Wolfenson, terdapat beberapa upaya untuk meningkatkan efektifitas upaya pembangunan, pengentasan kemiskinan, dll.
            Respon kemiskinan yang terjadi di Indonesia misalnya ketika politik dan keamanan yang sudah tidak stabil ditambah dengan terjadinya krisis ketika tahun 1997-1998, yang mana pertumbuhan ekonomi mencapai 13 persen, inflasi tercatat sangat tinggi sampai 77 persen, PHK dimana-mana, dan melonjaknya angka kemiskinan. Dan kejadian di Indonesia ini menyebabkan repon yang sangat kacau, yang mana ketika itu instabilitas politik yang sudah tidak stabil lagi yang ditandai dengan gelombang demonstasi, hura-hura, kerusuhan, dan mengakibatkan kepada kekerasan.
            Dalam hal kesehatan respon kemiskinan menjadi hal yang buruk, yang mana keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesahatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap hidup sehat, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain pun, utilisasi (penggunaan) rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan puskesmas.    
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia perlu diketahui sebenarnya faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan atau mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kemiskinan (jumlah penduduk miskin) di Indonesia sehingga kedepannya dapat diformulasikan sebuah kebijakan publik yang efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negara ini dan tidak hanya sekedar penurunan angka-angka saja melainkan secara kualitatif juga.
Strategi dan kebijakan alternatif yang berpihak kepada rakyat miskin, option for the poor menjadi kebutuhan mutlak menanggulangi kemiskinan. strategi dan kebijakan alternatif menanggulangi kemiskinan desa dapat dilakukan dengan cara memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan yang  memadai, redistribusi lahan dan modal pertanian yang seimbang, mendorong perkembangan investasi pertanian dan membuka kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk memperoleh kredit usaha yang mudah, memperkenalkan sistem pertanian modern dengan teknologi baru yang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang memadai, memperkuat komitmen eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki tatanan pemerintahan dan mendorong agenda pembangunan daerah memprioritaskan pemberantasan kemiskinan sebagai skala prioritas yang utama.
Oleh karena itu, dalam menanggulangi kemiskinan harus menyelasikan beberapa problem yang sudah disebutkan diatas tadi, bahwa dalam menyelasaikan segala problem dalam kemiskinan, peningkatan mutu pekerjaan atau penyediaan lapangan krja bagi seluruh masyarakat merupakan faktor yang sangat penting.









DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sritua dan Adi Sasono 1981, Indonesia : Ketergantungan Dan
Keterbelakangan, Jakarta : Lembaga Studi Pembangunan
Baran, Paul, 1957. Political Economy Of Growth, New York : Monthly Review
Press
BPS. 2004, Data Dan Informasi Kemiskinan, Jakarta
BPS. 2009. Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009, Jakarta
            Badan Pusat Statistik. Jakarta
Winarno Budi. 2014. Dinamika Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta. PT.Buku Seru.
---o0o---


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengalaman Magang di Kementerian Luar Negeri

1.1 Foto ketika mengawal pelaksanaan acara Focus Group Discussion dengan Kemenlu mengenai Prospek Perdamaian di Afghanistan. Tangerang, ...