Sun Rise di Puncak Gunung Lawu: Keajaiban Tuhan yang tak Terhingga.
![]() |
Gunung Lawu, 3.265 Mdpl |
akbarHiers- Setelah Ujian
Tengah Semester di kampus UNIDA, kami rombongan, yang berjumlah 8 orang,
Akbar(saya sendiri), Adib Luthfi, Rakatama, Fandy, Rahmat, Kurniawan, Ismoyo, dan
Ikhlas bersama-sama berencana untuk mendaki Gunung Lawu, yang menduduki
peringkat keenam dari sembilan gunung tertinggi di Jawa Timur setelah Semeru,
Slamet, Sumbing, Arjuno, dan Raung. Tinggi gunung Lawu 3.265 Mdpl (baca: meter
diatas permukaan laut). Disusul setelah gunung Lawu ada gunung Welirang dan
Sindoro. Kami kemudian menyewa motor di Pak Har Rental dan Mas Pras Rental di
desa kepuh Rubuh, Siman, Ponorogo. Setelah pulang dari kelas perkuliahan, saya
sholat di Masjid Jami’ Unida dan setelahnya menyusul teman-teman yang berada di
rusunawa 1 yang sedari tadi sudah packing,
sedangkan saya sendiri belum.
Setelah Packing, saya
langsung pergi ke masjid Darul Hikmah Muhammadiyah Ponorogo, guna melaksanakan
sholat ashar. Sebelumnya saya meminjam helm di rumah Miss Sarimah dekat TPA
Al-Abror, baru berangkat ke kota Ponorogo. Setelah Sholat ashar kami berdelapan
berangkat ke arah kota Magetan.
Setelah sampai di kota
Magetan, kami langsung menancap gas motor menuju desa Cemoro Sewu, Kecamatan
Plaosan, Magetan. Kami sampai disana pukul 5 sore waktu setempat. Setibanya,
kami langsung menuju musholla An-Nur dan menaruh barang-barang di situ.
Kemudian kami juga sempat menitipkan motor di warga setempat. Dan langsung menuju midh’oah dan mengambil air
wudhu. Ketika menyentuh air tersebut, ciusssss…masya Allah, dinginnya. Memang
seperti ini rasanya air gunung, sudah dingin, rasanya seperti menusuk daging
hingga terasa sampai tulang. Sebelumnya kami juga sempat membeli pentol untuk
sekedar menghangatkan diri. Baru setelah itu kami menuju masjid untuk
menunaikan sholat maghrib berjama’ah.
Setelah makan malam
dan dilanjutkan dengan sholat isya, kami bersama-sama menuju gerbang menuju
Puncak Lawu. Kami juga juga sedari tadi menyiapkan barang-barang yang sekiranya
sangat diperlukan, demi menghidari rasa kelelahan akan barang bawaan yang
berat. Setelah itu barulah kami mulai pendakian pertama kali kita semua. Lain
lagi dengan Ikhlas, yang sebelumnya sudah menaiki gunung Bromo.
![]() |
Depan Gerbang Cemoro Sewu.... |
Gunung Lawu, Gunug
tertinggi yang menduduki peringkat ke enam di Jawa timur gunung ini mempunyai 2
jalur masuk menuju ke puncaknya, ada Jalur Cemoro Sewu dan Jalur Cemoro
Kandang. Jarak dari kedua gerbang tersebut sekitar 200 meter. Menurut beberapa
sumber dan masyarakat setempat, jalur yang paling mudah untuk dinaiki yaitu
jalur Cemoro Sewu, karena jalur ini sudah tertata dengan baik dan disusun oleh
masyarakat setempat dengan batu-batu gunung dengan susunan yang sangat rapi,
hinga memakan waktu 3 bulan lamanya. Akan tetapi, medannya yang sangat terjang
membuat tantangan sendiri bagi pendaki. Gunung Lawu juga mempunyai empat pos,
masing-masing posnya berjarak 1 hingga 2 km, tapi jarak terjauh nya dari pos 3
menuju pos 4, hingga dapat dikatakan jarak ke pos 3 ke pos 4 jaraknya sama dengan jarak yang ditempuh dari
gerbang utama sampai pos 3.
Sebelum saya masuk,
saya sempat minta do’a kepada ibu agar diridho selama pendakian. Karena, ada
hadist yang mengatakan kalau ridho Allah terdapat pada Ridho orangtua, makanya
sebelum itu saya minta do’a kepada ibu. Kemudian baru beranjak ke gerbang masuk
bersama 7 teman lainnya.
Ketika pertama masuk
gerbang, tidak lupa kami mengucapkan salam kepada gunung. Mengingat saran ibuku
akan adab dan etika mendaki dan memasuki kawasan yang belum pernah kita masuki
sebelumnya. Begitu juga dengan buang air kecil dan besar. “Assalamu’alaikum”, tegas Adib ketika itu,
kemudian diikuti dengan teman-teman yang lain. Akan tetapi aku mengikutinya
dari dalam hati. Selama perjalanan masuk, cahaya terang sama sekali tidak ada,
bahkan rembulan yang menerangi pun nyaris tidak ada cahayanya. Kita hanya
bermodalkan headlamp dan beberapa
senter yang ada. Ada senter Polisi yang sangat tajam pencahayaanya yang dibawa
Adib dan senter biasa yang dibawa Kurniawan.
Bisa dikatakan
pendakian pertamaku ini sungguh mendadak. Mengingat perbekalan yang dibawa hanya
air minum sebotol, sarung tangan, kupluk, jaket, itu saja. Mungkin ini juga
salah satu faktor yang membuat kami semangat untuk mendaki, mengangkat
barang-bawaan yang tidak cukup banyak. Mungkin kalau kita membawa barang yang
sangat banyak, dipastikan kami tidak akan sampai cepat, mengingat kami harus
sampai tepat waktu dan dapat menikmati sunrise di gunung Lawu.
Beda lagi dengan pendaki-pendaki yang ditengah jalan nanti kami jumpai, dari mereka ada yang membawa tas gunung, kompor gas kecil, bahkan ada yang membawa tenda atau kemah-kemah kecil. Yah, barangkali saja mereka berniat untuk berniat berkemah diatas gunung, sedangkan kami hanya ingin mendaki sampai Puncak saja dan mendapatkan sunrise, kemudian langsung turun lagi, mengingat hari sabtu esok ada kelas perkuliahan yang harus dihadiri.
Beda lagi dengan pendaki-pendaki yang ditengah jalan nanti kami jumpai, dari mereka ada yang membawa tas gunung, kompor gas kecil, bahkan ada yang membawa tenda atau kemah-kemah kecil. Yah, barangkali saja mereka berniat untuk berniat berkemah diatas gunung, sedangkan kami hanya ingin mendaki sampai Puncak saja dan mendapatkan sunrise, kemudian langsung turun lagi, mengingat hari sabtu esok ada kelas perkuliahan yang harus dihadiri.
Mulai mendaki, napas
sudah mulai tidak teratur. Bukan karena dingin, juga bukan karena udara
yang nyesak, akan tetapi keadaan yang
memaksa kami untuk merasa tertekan, mungkin ini yang diberikan Alam bagi
pendaki pemula seperti kami. Bisa dikatakan kita kagetlah, bagi seorang pemula.
Nafas yang ngos-ngosan, tidak
membuatku patah semangat. Mengingat motivasiku untuk mendaki sangat besar. Selagi
di jalan, saya sendiri menyempatkan untuk berdzikir, bukti kalau aku sangat mengagungi
ciptaan Tuhan. Tidak lupa sambil kuputar surat Al-Baqoroh dengan suara yang
agak kecil. Ini semua kulakukan agar selalu mengingat-Nya dalam keadaan apapun,
serta dalam keadaan mendaki bukan hanya kita yang berada di wilayah hutan,
melainkan ada makhluk lain yang sedang melihat kita.
Ketika rasa negatif
itu timbul, aku langsung membuangnya jauh-jauh serta mengingatkan juga kepada
teman-teman, “Think Positive, yaah Guys”. Kami juga sempat untuk membuka baju
karena hawa yang ada sangat membuat badan gerah. Meskipun udara di bawah sana
dingin, ketika menaiki gunung sudah menjadi gerah, karena ita langsung disuguhi
dengan batu-batuan yang menukik tajam untuk dinaiki, bahkan tidak heran
keringat mengucur dengan derasnya.
Teman-teman yang kegerahan...hhe... |
Setelah sekitar 2 jam berlalu,
akhirnya kami sampai di Pos 1. Pos 1 adalah pos pertama yang kami jumpai. Jarak
Pos ini sekitar 2.100 Mdpl. Disekitar pos ini ada banyak sampah-sampah yang
berserakan di mana-mana. Maklum, ketika malam Ahad, banyak para pemuda-pemudi
yang mendaki gunung dan membuat api unggun kecil di pos tersebut. Setelah
istirahat sejenak, kami langsung melanjutkan pendakian menuju pos selanjutnya.
Jalan sudah mulai terjal dengan batu-batu gunung yang ada. Mulai dari batu-batu
yang tumpul sampai yang tajam, membuatku harus memperhatikan langkah-langkah
yang sedikit-demi sedikit mulai goyah. Tapi teman-teman yang semangatnya juga
sangat tinggi membuatku menahan rasa letih yang mulai menghampiri.
Sebelum kami sampai ke
Pos 2, aku melihat ada cahaya api yang menyala-menyala dari dalam gubuk yang
sederhana. Perkiraan kami nggak salah lagi. Ternyata ada orang yang tinggal
disana sudah sedari pagi. Dari raut wajahnya, sangat kelihatan kalau orang
tersebut sudah tua dan menduduki kepala 5. Dia lagi sibuk dengan api kecil yang
dibuatnya. Disampingnya ada 2 orang yang sedang terbaring tidur, mungkin
anaknya yang sedang istirahat. Setelah kami berbincang-bincang cukup lama,
akhirnya kami melanjutkan perjalanan kami.
Sangat banyak hal yang
disampaikan sama Pak Tua tadi yang kami jumpai di Pos 2. Beliau sudah
berkali-kali menaiki gunung Lawu, bahkan tidak bisa beliau menghitungnya. Singkat
cerita, dulu ketika muda, beliau sangat sering mendaki gunung, bahkan tidak
berlama-lama, melainkan beberapa jam saja sudah sampai. Beliau juga sangat
salut kepada kita-kita, karena masih muda, bisa menyempatkan diri untuk menaiki
gunung Lawu.
Selain itu juga beliau
memang hobinya menjadi pendaki. Kata beliau, Gunung Lawu sangat ramai didaki
para pendaki, apalagi menjelang malam Ahad dan hari libur. Lebih-lebih malam
satu Syuro’ yang konon katanya banyak orang-orang yang mencari pesugihan lah,
bersmedi lah, mencari kemuliaan lah dan lain-lain. Yah, maklumlah, kepercayaan
animisme dan dinamisme masyarakat pegunungan sangat tinggi, sehingga tidak
heran kalau mereka mempercayai hal-hal yang bersifat ghoib tersebut.
Menuju ke Pos 3, udara
sudah mulai mencekam, jaket dan peralatan yang kami lepaskan satu persatu,
mulai dipakai kembali. Keadaan pada malam hari itu memang cerah, meskipun
udaranya semakin menusuk kulit hingga tulang. Andaikata saja malam itu hujan,
mungkin kami akan mati kedinginan. Alhamdulillah, Allah sudah mengatur
pendakian kami ini, hingga bisa menikmati keagungan-Nya yang tak terhingga.
Setelah mendaki sedikit demi sedikit, akhirnya kami menjumpai pos ketiga, yang
jaraknya sekitar 2.500 Mdpl.
Pos 3, gerrrr..dingin banget pek...ampe aye merrem g tu tuh.. |
Ketika sampai di pos
ketiga, kulangsung menaiki tembok kecil yang disediakan untuk beristirahat,
sungguh keadaan saat itu capek sekali, bahkan kaki sudah mulai bergetar, karena
nggak kuat menahan badan ini. Setelah itu Ikhlas mengambil kayu-kayu kecil
untuk dibakar dan untuk membuat api unggun kecil. Setelahnya kami langsung
menahan rasanya dingin dengan mendekatkan tangan ke arah api. Tidak lupa si
Rahmat mengabadikan momen kecil ini. Dia berdiri di pojokan, kemudian “jepreet”
akhirnya momen itupun masuk ke dalam jepretan kamera.
Bintang Kecil..heheee.. |
Kami kemudian melanjutkan
perjalanan ke pos selanjutnya. Dari beberapa sumber, benar adanya kalau jarak
antara pos 3 sampai pos 4 sangat jauh jaraknya. Layaknya dari titik nol sampai
pos 3. Udaranya lebih mencekam. Keringat yang seakan mau keluar banyak, tidak
dapat keluar, karena tertahan oleh hawa dingin yang begitu menusuk. Baju dan juga
jaket yang kami kenakan, mulai tidak dapat menahan angin yang menusuk, hingga ujung
jari kaki dan tangan mulai tidak terasa, dan seakan membeku. Trek yang di alam
berikan kepada kita cukup terjal, sampai-sampai membuatku agak kesel, tapi bagaimana
lagi, mungkin ini cobaan yang diberikan Tuhan bagi kita untuk tidak menyerah.
Sudah sejauh ini, mana mungkin kami bisa turun ke bawah lagi? Memang seperti
kali yah bagi para pemuda yang baru pertama kali mendaki gunung. Di sisi lain,
kami diperlihatkan oleh alam pemandangan yang sangat indah dan mempesona. Kota
Cemoro Sewu yang tadi sore kami melihatnya, kini tidak lebih dari deretan semut
yang memakai lampu di kepalanya. Deretan lampu-lampu tersebut sungguh sangat “memukau”.
Indah dilihat mata, indah dilihat, dipandangi, hingga menghilangkan rasa kejenuhan
kami yang sejak di pos 3 menghampiri. Pagar-pagar pembatas antara batuan terjal
dan jurang pemisah dari pos tiga juga sudah berderet dari tadi, membuat ku
mudah meraih antar satu batu ke batu yang lainnya.
Akhirnya setelah lama
menelusuri setapak demi setapak, kami pada akhirnya menemukan pos 4, yang memang
kondisinya kurang terawat dari pos-pos sebelumnya. Pos 4 ini jaraknya sekitar
2.800 Mdpl dan hanya sebatas penanda bagi para pendaki yang baru sampai,
mungkin dari keadaannya yang terjal membuat masyarakat tidak sempat untuk
membuat pos-pos seperti yang ada di Pos 1, 2, dan 3. Kemudian setelah itu kami
melanjutkan perjalanan menuju pos terakhir, yaitu pos 5. Sebelumnya kami juga
sempat menemukan jalur kapur yang di belakangnya tepat “menganga” dengan lebar pemandangan
kota jawa timur.
Setelah itu, kami teap
melanjutkan peerjalan menuju puncak pertama yang harus didaki, yaitu puncak
Hargo Dalem. Akhirnya kami pun tiba di pos lima, yang merupakan jalur terakhir
Cemoro Sewu. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dan sempat melewati beberapa
warung-warung yang ada di situ. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dan
menemukan warung tertinggi di Indonessia, yaitu warung Mbok Yem terletak di
puncak Hargo Dalem. Warung ini sangat dikenal oleh para pendaki gunung yang
pernah menaklukkan Gunung Lawu. Bagaimana tidak masyhur, warung ini warung tertinggi di Indonesia (2.150 Mdpl).
Mbok Yem selaku penjaga warung juga belum pernah mematuk harga untuk para
pendaki yang ingin bermalam di warung tersebut.
Oh iyya, Sebelumnya
kami sempat tersesat karena malam itu sungguh sepi, bahkan tidak ada pendaki
yang kelihatan berkemah maupun mendirikan tenda. Biasanya kalau hari libur atau
akhir pekan seperti malam Ahad, para pendaki banyak yang mendirikan tenda
sekitar jalur Cemoro Sewu, mengingat jalurnya sangat terjal dan membuat para
pendaki lelah dan jenuh. Setelah mengetahui kalau jalan yang kita tadi sempat
tersesat, kami berbalik arah sekitar 50 meter.
Langkah demi langkah
kami telusuri. Mata yang sudah manja dengan ngantuk sudah tidak tertahan lagi,
ditambah udara yang begitu menusuk. Kami juga sempat break sekitar setengah jam
di pos 5, kami menyempatkan membeli gorengan dan menghirup kopi hangat dan mi
kaldu panas. Setelah itu, jam 2 kami melanjutkan perjalanan ke Puncak Hargo
Dumilah, puncak tertinggi di Gunung Lawu.
Setelah sampai sampai
beberapa meter sebelum puncak, kami melihat jalan setapak yang bertuliskan KKN
UGM 2010. Mungkin ini jalan pintas, yang pernah diabadikan mahasiswa UGM ketika
Kuliah Kerja Nyata. Kami pun mengikuti kata Fandi yang memutuskan lebih baik
untuk mengikuti jalur itu saja daripada melanjutkan jalan ke depan, karena akan
memutari gunung dengan jarak yang lebih jauh lagi. Akhirnya ketika menaiki
jalur tersebut, wiiiuuuuh, rasanya sunggu melelahkan!!! Jaraknya yang sekitar
80-100 meter, ditambah tanjakan ke atas, membuat kaki tambah lelah dan nggak
kuat.
Akhirnya setelah beberapa
menit kemudian, tugu Hargo Dumilah sudah kelihatan. Langsung kupercepat langkah
menuju ke atas. Rasa capek dan lelah seakan-akan hilang dan terbayarkan ketika
menjelang sampai ke puncak. Akhirnya, pada pukul 02.50, setelah sekitar 10
menit jalan ke arah puncak, akhirnya
kami sampai. Ya Allah, hamba berada di Puncak tertinggi di Daerah perbatasan
Jawa Timur dan Jawa Tengah!!! Seketika itu juga aku lari dan mencium tugu Hargo
Dumilah, serta dengan penuh rendah diri aku sujud syukur, bukti akan Agungnya
ciptaan Allah di dunia ini.
Seketika itu juga aku
sadar, bahwa manusia itu kecil, tidak ada apa-apanya. Manusia hanya sebesar semut
yang berenang diatas lautan, manusia layaknya sebesar titik di atas bumi ini.
Ketika kuarahkan kepala ku ke atas langit, Subhanallah!!!! Bintang-bintang seperti
tumpukan pasir yang berada di atas kertas karton putih yang digoyang-goyangkan.
Sangat banyak Bung!!! Beda daripada kita melihat bintang dari arah bawah sana
yang sangat jauh. Di sisi timur, terpampang dengan lebar gemerlapnya lampu yang
sangat banyak di Jawa Tengah yang sangat memanjakan mata. Jalan raya yang lurus
dan dapit oleh lampu yang sangat terang menandakan kalau jalan tersebut adalah
jalan tol. Demikian juga sisi barat, “menganga” dengan lebar kota-kota Jawa Timur. Kota Magetan yang tadi sore kami jajaki, di pukul 2 dini hari ini, Sungguh,
tidak kelihatan dan seakan-akan sudah di dalam perut bumi. Lagi-lagi puji syukur
kepada Sang Pencipta, yang menjadikan alam, langit dan bumi sebagai tanda-tanda
kebesaran-Nya.
“(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keaadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. 'Ibrahim [14]
: 19)
Sembari menanti Shubuh
dan matahari terbit, kami membuat api uggun
dalam gubuk kecil disekitar puncak. Dan ketika shubuh mulai tiba, kami mulai
melaksanakan sholat Shubuh yang sebelumya bertayammum. Meskipun juga ada air,
mana mungkin ada yang ingin menggunakannya. Air layaknya es batu yang sangat
dingin, bahkan mengalahkan dingin-dingin kulkas yang ada di rumah.
Setelah
shalat jama’ah bersama Rahmat, (hanya aku dan dia), karena yang lain tidak kuat
karena saking dinginnya hawa, bahkan Ismoyo sendiri menggigil tak karuan,
hingga tak bisa bergerak, mentari perlahan-lahan muncul dari ufuk timur.
Cakrawala mentari berwarna orange terang mulai menyapa dunia. Aku juga sibuk
nulis-nulis di atas kertas dan spidol, I Love u Mom & Dad, Aisyah, Alif, all
of my Family, dan ilustrasi Lawu, dengan angka 3.265 Mdpl.
Akhirnya Mentari pun
di genggaman. Lawu yang selama ini menjadi penantian, akhirnya ditaklukkan
juga. Yaaah, dengan resiko, kaki pegel bahkan sejak artikel ini ditulis.
Sungguh, Maha Agung Allah, yang menciptakan segala sesuatunya tidak sia-sia dan
menjadikannya tanda sebagai Maha Keaguangannya. Thanks God, Thanks Mom, Thanks
to my Friend who wishing me, and Thanks to Lawu, may I can visiting you in
other time….
Saturday Night, 28th
of March 2015 22:17
Head Quarter of
International Relations of University of Darussalam Gontor.